Stalker-4

201 44 28
                                    

"Justin?!" aku tersentak. Harusnya aku merasa lega, tapi tingkahnya membuatku ketakutan.

Dia berjalan mendekat ke arahku sambil menyeringai. Dia kenapa?

Justin semakin mendekat, langkahnya terdengar bergema di lorong itu. Tatapannya tidak lepas dari mataku. Aku lirik sekeliling, dari jalan masuk lorong dan ujung lorong tidak ku temukan lagi orang-orang yang lewat tadi, kau yakin tadi masih ada orang di sekitar sini. Ku lirik Justin, aku yakin dia tahu aku sekarang ketakutan, tapi kenapa dia tetap saja memasang ekspresi itu?

Ia mendekat dan makin mendekat, hingga kami berhadapan. Aku melihatnya melirik sekilas ujung lorong, setelah itu ia kembali menatapku, tatapannya terpaku pada mataku. Ekspresinya masih sama menakutkan seperti sebelumnya.

Aku mencoba menahan napas agar tidak terlalu jelas bahwa saat ini aku ketakutan, ku beranikan diri untuk membalas tatapannya, tubuhku terasa mati rasa, aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa bicara atau tidak dalam keadaan ini. Jantungku berlomba-lomba menghancurkan tulang rusukku, aku rasa ia bisa mendengar suara detak jantungku dan aku juga yakin ia bisa merasakan getaran hebat di tubuhku, getaran ketakutan. Bagaimanapun caranya aku mengontrol diri agar tidak ketakutan tapi tubuhku tetap bereaksi lain. Oh Tuhan, apa yang akan Justin lakukan padaku?! Bantu aku Tuhan.

Takut. Hal ini yang aku rasakan saat ini. Aku jarang merasakan emosi itu dan aku tidak menyangka emosi itu akan muncul di depan Justin, sahabatku sendiri. Hey kenapa kamu ketakutan Anna? Aku terus menanyakan hal itu di otakku tapi bukan jawaban yang aku dapatkan, melainkan ketakutan itu sendiri semakin mendominasi diriku.

"Awh, Jus-"

"Sssttt."

aku mengaduh ketika tangan Justin mulai menggoreskan pisau di lengan atasku membentuk huruf A.

Aku melihat ke arah lenganku yang sudah memuncratkan darah segar, lalu ku lihat tangan Justin yang memegang pisau tipis itu. Oh tidak!! Dia tidak memegangnya, melainkan dia menggenggamnya! Ia menggam erat mata pisau itu. Aku rasa luka yang terdapat pada telapak tangannya lebih dalam dibandingkan luka di lenganku. Seolah-olah ia sengaja meninggalkan jejak darah di sekitar ini, tapi ia tidak mau menyakitiku lebih dari ini. Apakah tebakan aku benar?

Ketika ia menggenggam pisau tajam itu, ia memejamkan matanya. Aku ngilu melihatnya seperti itu, air mataku sudah menggenang di pelupuk mata, aku tidak kuat melihat dia kesakitan seperti itu. Beberapa detik kemudian ia menghentikan genggamannya pada pisau itu, dan meluncurlah pisau itu di dekat kaki kami berdua, lalu terdengar bunyi khas ketika besi bersentuhan keramik, lorong ini membuat suaranya menjadi bergema. Lalu Ia mengedipkan kedua matanya padaku, seolah-olah ia sedang berkata Maaf.

Ia menempelkan tangannya yang penuh darah itu di lenganku tepat di tempat dia menggoreskan huruf A tadi. Aku tidak mengerti apa maksud semua ini, aku kembali menatap matanya, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya ia lakukan ini? Untuk apa?

Ia melirik telingaku, seperti sengaja menghindari kontak mata denganku. Posisi kami masih sama, masih berhadapan. Ia mejamkan mata dan berbisik. "Run!"

Aku menegakkan kepalaku untuk mendengar lebih jelas, apakah ia menyuruhku lari?

Karena mendapati aku masih bergeming, ia kembali menoleh dan menatap mataku. "Run!" bisiknya terdengar membentak.

Tanpa menunggu lagi, aku langsung lari sekencang yang aku bisa untuk keluar dari lorong itu, aku tidak tahu kenapa Justin menyuruhku lari, aku juga tidak melihat ke belakang lagi. Aku benar-benar tidak bisa berfikir jernih, yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa keluar dari lorong itu.

Setelah aku sampai di luar lorong barulah ku berbalik untuk mencek ke belakang, ingin melihat apakah Justin juga  mengikutiku. Ternyata tidak ada lagi Justin di tempat itu. Yang aku lihat hanya lorong kosong.

StalkerWhere stories live. Discover now