Stalker-2

455 73 36
                                    

Rumah kokoh bercat putih dengan perpaduan warna krem yang sudah memudar karena termakan usia masih berdiri tegak walau umurnya sudah hampir seabad, di samping kirinya tergolek berbagai barang bekas yang sudah karatan. Tak lupa sebagai penghias ada beberapa tanaman kaktus dan lavendel yang jarang tersentuh berjejer di taman dekat pagar, karena tidak terurus tanaman ilalang lebih mendomimasi dibanding keduanya.

Dibagian teras terdapat dua kursi santai dan satu meja pendek yang terbuat dari kayu jati, benda itu masih terlihat antik dan warnanya masih utuh. Di sebelah sudut atas terdapat sangkar burung yang sudah lama kosong, burung-burung itu tidak mengisi sangkak itu lagi karena memang tidak ada yang mau mengurusinya.

Itu rumahku, tempat aku bermain sendirian di kala orang tuaku sibuk. Di sana juga aku melewati serangkaian peristiwa yang terbilang sedikit mengejutkan. Yah, peristiwa bertengkar dan berakhir berpisah, kisah klise rumah tangga ucap teman-temanku kalau aku memilih bercerita. Aku rasa Ayah kandungku masih hidup, karna aku sudah lama tidak berjumpa dengannya, itu sebabnya aku tidak tahu kabarnya lagi. Terakhir kita berkomunikasi sekitar lima tahun yang lalu, dan itu terjadi karena kebetulan. Aku merasa semenjak mereka bercerai, ayahku tidak berusaha mencari tentangku. Terlihat saat pertemuan tidak di sengaja itu dia memelukku dan pergi, tidak ada pertanyaan basa basi seperti, bagaimana kabarmu, kamu sekolah dimana, atau sekedar menanyakan apakah aku sudah makan.

Ku pencet bel rumahku, kebetulan ibuku saat ini tidak bekerja. Setelah itu ku dengar ada yang menyahut dari dalam sana.

Ting ...

Aku lihat ada notifikasi pesan di ponselku. Aku bisa melihat pesannya tanpa harus membukanya karena pesannya pendek.

Tumben pulang selarut ini.

Itu bunyi pesannya. Nomor yang sama dengan pengirim aneh waktu itu. Aku menoleh sekeliling. Tidak ada siapapun karena ku yakin tetangga ku sudah tertidur di kamar masing-masing karena sekarang hampir larut malam. Entah kenapa Mama juga lama membukakan pintu.

Aku merasa ada yang mengawasiku. Aku tidak bohong aku ingin saat ini cepat-cepat masuk rumah. Perasaanku campur aduk, resah, tegang, merinding dan juga kesal karena Mama terlalu lama membuka pintu.

Neng ... Neng ...

Dia menelponku. Nomor yang tidak di kenal itu. Aku benar-benar cemas. Apalagi dua hari yang lalu ada kasus pembunuhan yang terjadi di dekat rumahku. Hal yang paling membuat aku cemas adalah sampai sekarang pelakunya belum terungkap.

Aku terkesiap. Ada yang menyentuh bahuku dan berkata. "Tumben pulang selarut ini." aku tersentak. Ternyata hanya mimpi. Dan aku bersyukur akan hal itu.

"Huft." aku menghembuskan napas pelan. Ada rasa lega di hatiku. Aku mencoba menetralkan detak jantungku yang sampai saat ini masih berpacu kencang. Mimpi itu terasa nyata. Sangat nyata, aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Tapi yang jelas mimpi itu bukan mimpi yang indah.

Aku jarang bermimpi buruk, dan ketika bermimpi buruk selalu ada hal yang buruk aku alami di dunia nyata, entah lah rasanya kali ini juga sebuah petanda buruk.

Oh iya, aku melewatkan sesuatu. Semalam aku tidak sendirian memakan mie pedas itu, seperti dugaanmu Justin juga ikut memakannya. Dia bahkan tidak sampai lima sendok memakan mie itu, tapi perutnya sudah meronta ingin mengeluarkan cairan cair yang menjijikan dan bau itu dari dalam tubuhnya, dia terkena diare. Aku menyesal telah memaksanya memakan mie itu, Justin sampai kelelahan bolak-balik keluar masuk toilet, aku hitung-hitung rasanya dia sudah tujuh kali melakukannya. Karena kelelahan aku membiarkannya istirahat di ruang tamu.

Jika kamu penasaran apa yang terjadi selanjutnya ketika aku menyerahkan ponsel padanya semalam, aku akan ceritakan dengan senang hati.

"Matikan!" ucap Justin dingin. aku tidak bisa melihat reaksinya tapi aku rasa dia sedang kesal atau marah.

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang