'Haruskah ia pulang dan menemui Mean!'

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Namun tidak ada niatan dalam hatinya untuk pergi meninggalkan kantor. Pikiran nya melayang kembali pada kejadian dimana putra angkat nya melakukan hal yang sangat membuat dirinya, kini membenci dirinya sendiri.

Sesaat hatinya terasa sesak ketika mengingat putra angkat yang sangat di sayangi itu sendirian di rumah.

Siapa yang merawat anak itu. Pikirnya.

Plan memejamkan matanya, lalu menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya Plan bangkit dan pergi melangkah meninggalkan ruangan kantor tersebut.

Sudah hampir 20 menit Plan masih berada di dalam mobilnya yang terparkir di halaman rumahnya sendiri. Ia akhirnya memutuskan untuk pulang dan berharap Mean sudah pergi tidur tanpa harus menunggu nya. Plan masih menyandarkan tubuhnya pada kursi kemudi, matanya menatap pada sekeliling bagian halaman rumahnya.

Perasaan ragu itu kembali menyelimuti hati lelaki dua puluh sembilan tahun. Semenjak memutuskan untuk pulang, di sepanjang perjalanannya Plan sesekali menepi dan memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa sakitnya atas perlakuan putra angkatnya itu.

Plan membuka pintu mobilnya dan melangkah menuju pintu depan rumahnya. Ia mengambil kunci rumah yang tersimpan di dalam tas kantornya. Saat pintu tersebut mulai terbuka, Plan menghela nafas sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memasuki rumahnya itu dengan perasaan gelisah.

Lelaki itu kembali menutup pintu rumahnya dan menguncinya, ia menatap pada sekeliling rumahnya yang sudah terlihat sangat sepi. Mungkin Mean sudah tidur, pikirnya.

Namun saat Plan akan melanjutkan langkahnya dan menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Sejenak, langkahnya terhenti ketika merasakan sesuatu yang kini tengah menggenggam tangannya. Plan menutup matanya sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berbalik dan berhadapan dengan putra angkatnya tersebut dengan tatapan penuh kekecewaan.

"Pah .. kau pulang."

Plan terdiam, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Mean. Mean dapat melihat dengan jelas garis wajah Plan yang biasanya lembut, kini berubah menjadi keras dan dingin. Mean tahu, bahwa Plan pasti sangat membencinya. Tapi walau bagaimana pun, Mean bertekad untuk meminta maaf pada Papahnya atas perbuatannya tadi malam.

"A_ku minta maaf atas kejadian ..."

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mean sebelum Mean melanjutkan ucapannya. Plan menampar Mean tanpa rasa ragu sedikitpun, ia menatap tajam pada putra angkatnya itu. Sedangkan Mean, langsung melepaskan genggaman tangannya yang bertengger pada pergelangan tangan Plan, dan menyentuh pipinya yang terasa panas akibat tamparan tersebut.

"Aku tahu aku salah, jadi untuk itu tolong maafkan aku." Lirih Mean pelan sambil menahan rasa perih yang mulai mendera pipinya.

"Aku terima apapun yang papah layangkan padaku, aku sendiri memang pantas mendapatkannya. Tapi Mean mohon sama papah, tolong maafkan Mean dan Mean sendiri tidak bisa untuk.... untuk ... me .. melupakan perasaan ini terhadap mu pah."

Plakk!

Kembali Plan mendaratkan tangannya pada pipi putih milik Mean. Namun saat kedua tamparan tersebut mengenai pipi Mean yang sedikit membuat luka pada bagian sisi bibirnya, membuat hati Plan terasa sakit atas apa yang dia lakukan terhadap Mean. Putra angkatnya yang begitu sangat Plan sayangi, namun disisi lain, Plan benar-benar kecewa atas perasaan yang dia miliki terhadapnya.

Dan tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Plan pergi meninggalkan Mean yang masih berdiam diri memegang pipinya.

Plan menyandarkan tubuhnya pada bagian sisi ranjang miliknya, ia terduduk lemas sambil memeluk dan menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya. Beberapa detik kemudian badannya bergetar, plan menangis tentang apa yang ia lakukan terhadap Mean. Namun apa yang sudah Mean lakukan kepadanya, membuat Plan sendiri kecewa terhadap sikapnya.

Damn! I Love You PapaWhere stories live. Discover now