Damn! Papa 7

1.3K 124 81
                                    

Pemuda delapan belas tahun itu, perlahan membuka matanya dan terbangun dari tidurnya. Ia meringis kesakitan pada bagian kepalanya, memegang pelipisnya dan mengedarkan pandangannya pada ruangan yang masih tertutup rapat oleh gorden sehingga masih menimbulkan kesan pagi.

Mean masih memegang pelipisnya, ia menyandarkan tubuhnya pada bagian atas tempat tidurnya. Pemuda tersebut melihat pada bagian tubuhnya yang sudah tidak mengenakan apapun, hanya di tutupi dengan selimut tebal miliknya. Pikirannya melayang memikirkan apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya ia menyadari dan menarik rambutnya dengan kasar ketika mengingat kejadian tadi malam, saat dia melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan sebagai anak terhadap papahnya sendiri.

"Aargghh ... Apa yang sudah aku lakukan." sesal Mean.

"Pah .." lirihnya, sebelum akhirnya Mean memejamkan matanya dan terisak pelan dalam keheningan.

Di lain tempat.

Plan tengah menenggelamkan wajahnya pada meja kantor tempatnya bekerja. Pagi-pagi sekali Plan memilih untuk pergi dari rumahnya sebelum melihat anak angkatnya itu terbangun dan melihat dirinya. Plan menangis sama dengan hal'nya Mean. Tetapi bukan menangis karena telah menyesal atas apa yang di lakukan oleh Mean terhadap dirinya, akan tetapi Plan menyalahkan dirinya atas pertanggung jawaban dia yang belum bisa menjadikan Mean sebagai anak yang baik dan menghormati dirinya.

'Kau membuatku kecewa Mean.'

'Kenapa kau melakukan ini padaku.'

Plan tidak habis pikir atas apa yang sudah di lakukan oleh Mean kepadanya. Seseorang yang sangat Plan sayangi sedari kecil, di rawatnya sampai tumbuh dewasa seperti sekarang, akan tetapi Mean telah melakukan hal yang sangat membuat dirinya kecewa karena perbuatannya itu. Plan tidak tahu apa yang akan terjadi tentang hubungan nya nanti dengan Mean, pasalnya untuk kembali ke rumah saja membuat Plan membencinya.

Tokk .. Tokk .. Tokk ..

Plan terpaksa mengangkat kepalanya dan menoleh pada sumber suara. Ia kembali menenggelamkan wajahnya pada meja kantor nya setelah tahu siapa yang sudah menganggu dirinya pada saat ini.

"Kau kenapa, security bilang kau datang pagi-pagi sekali sebelum karyawan mu sendiri datang." tanya Perth.

Plan tidak menjawab, dia kembali asik menenggelamkan wajahnya.

'Haruskah ia menceritakan apa yang tengah terjadi pada dirinya kepada Perth?'

"Plan, kau sakit kah?"

Plan hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan semua tentang masalah yang sedang kau alami sekarang, tapi jika kau ingin bercerita. Aku siap untuk mendengarkannya." sahut Perth sambil menepuk bahu Plan.

***

Mean sedari tadi gelisah, hingga membuat pemuda delapan belas tahun itu berjalan mondar-mandir kesana kemari melangkahkan kakinya di sekitar kamarnya. Sesekali Mean mengusak kasar rambutnya dan berteriak ketika mengingat apa yang sudah ia lakukan terhadap papahnya.

'Kenapa kau melakukan itu Mean!'

Pemuda delapan belas tahun itu merogoh saku celananya dan mengambil benda pipih tersebut.
Dia membuka kontak nama pada layar ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Namun niat'nya kembali ia urungkan saat memikirkan apa yang akan di ucapkan oleh seseorang di seberang sana. Mencaci maki dirinya atau mendiamkannya.

.

.

.

Lelaki itu masih betah di dalam ruangan yang sudah terlihat sangat sepi. semua para karyawannya sudah menghilang satu persatu saat dimana jam kantor selesai. Begitu juga dengan sahabatnya, Perth. Dia memilih untuk pergi meninggalkan Plan seorang diri. Plan masih mendudukkan dirinya di sofa ruangan kantor tempat miliknya bekerja. Sesekali dia merebahkan tubuhnya pada sofa tersebut.

Damn! I Love You PapaWhere stories live. Discover now