[Dari Lingga-10]

111 41 8
                                    

gumanan, mantan, dan alasan

Hari-hari terus berlalu dan Lingga telah menyelesaikan ujian nasional. Bang Reza menepati janjinya. Kemarin, Lingga bertemu dengan pemilik vendor yearbook yang bernama Eki. Dibanding wawancara, pertemuan kemarin lebih mirip nongkrong. Lingga yang skeptis kalau vendor ini merupakan pekerjaan bodong, lebih banyak bertanya ketimbang menjawab. Dengan sabar, Bang Eki menjelaskan usaha yang ia rintis kurang lebih setahun belakangan. Lalu menjelaskan jodesc setiap divisi dengan detil dan menjelaskan aturan kantor yang berlaku. Bahkan Bang Eki membawa sampel yearbook yang telah dibuat. Dari situ Lingga percaya. Dia sepakat untuk bekerja di vendor Bang Eki.

Untuk sementara, semuanya berjalan mulus. Kecuali hubungannya dengan Pipit.

Lingga tak habis pikir mengapa Pipit terlihat memusuhinya. Apa kesalahannya?

Sebulan terakhir mereka saling menghindar. Kalau Lingga melihat Pipit menaiki gerbong yang sama, maka Lingga akan berpindah gerbong. Begitupula sebaliknya dengan Pipit.

Sampai akhirnya, Lingga membuat keputusan berani lainnya; bertanya langsung pada perempuan itu.

Hari ini Lingga ke sekolah dengan menggendong tas berisi buku pelajaran. Setelah ujian nasional selesai, siswa kelas 12 tetap masuk untuk menyelesaikan proses penjajakan yang cukup merepotkan. Salah satunya mengembalikan buku pelajaran. Lingga tak habis pikir kenapa sekolah mengharuskan mereka meminjam buku padahal SMK lebih mengedepankan praktikum.

Pikiran Lingga buyar saat kereta baru saja bergerak. Tangan Lingga mengeluarkan secarik kertas dari saku dan membacanya. Apa terlalu menye-menye, ya? Kayak bocah SD aja. Tapi gue bingung gimana ngomongnya....

"Ayo, Ga, kalau lo nggak gerak sekarang mau kapan lagi? Keburu masuk kuliah orangnya," guman Lingga, berusaha menyemangati diri sendiri sekaligus menyingkirkan skenario buruk di benaknya.

"Siapa yang keburu kuliah?"

Eh? Lingga menoleh ke sebelah kiri. Di sebelahnya, perempuan yang Lingga kenal sebagai teman Pipit duduk sembari menatap jendela di seberang.

"Lo Lingga, kan?" Teman Pipit menengok ke arah Lingga seraya tersenyum tipis. "Kita belum kenalan, nama gue Siska."

Oh, jadi cewek yang selalu bareng Pipit itu namanya Siska. "Gue Lingga."

"Lo kalo lagi gebet orang jangan ragu-ragu dong," ucap Siska tanpa basa-basi. "Gue tau lo naksir sama temen gue. Ketauan banget malah dari gerak-gerik lo—eh, tapi nggak tau deh Pipit ngeh apa nggak."

Lingga bungkam. Sejelas itukah perasaannya untuk Pipit? Pantas saja dulu Fadil dan Arham cepat mengetahui perasaan Lingga.

Baru ingin merespon perkataan Siska, perempuan itu berbicara lagi. "Hari ini Pipit nggak masuk sekolah. Padahal ada bimbel buat SBMPTN. Otomatis gue berangkat sendiri. Mau tau kenapa Pipit nggak masuk?" Siska menatap Lingga dalam-dalam seakan ucapan selanjutnya merupakan hal serius.

"Akhir-akhir ini mantannya Pipit suka gangguin dia."

Suara kereta yang berjalan mengisi keheningan di antara Lingga dan Siska. Akhirnya Lingga tahu kenapa sikap Pipit berbeda setelah kurang lebih satu bulan berspekulasi. Lingga bertanya-tanya seberapa mengganggunya mantan Pipit sampai perempuan itu enggan masuk sekolah.

"Pipit cerita kalau mereka putus pas SMP. Dia yang mutusin. Tapi mantannya nggak terima, jadi suka neror di SMS, telepon, bahkan sampai di DM Instagram. Akhirnya pas masuk SMA, Pipit ganti nomer dan bikin akun Instagram baru.

"Nah, sebelum USBN, tiba-tiba Pipit di spam DM sama akun bodong di IG. Intinya mantan ngancem hack atau dapetin alamat IP—atau apalah itu gue nggak tau dah," ungkap Siska yang menggigit

Sementara Lingga tak bisa berkata-kata. Walaupun berada di jurusan Multimedia, dia paham kalau alamat IP sangat penting. Dengan mengotak-atik alamat IP seseorang, informasi pribadi bisa saja didapat oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

"Kemarin Pipit bilang, hari ini mantannya bakal nungguin di depan sekolah gue."

Anjrit! Sakit nih orang. Tanpa sadar, Lingga telah mengepalkan tangannya.

"Terus ... mungkin aja, mungkiiinn Pipit keliatan marah ke lo itu gara-gara ... aduh gue bingung gimana bilangnya." Siska mulai ragu-ragu.

"Kenapa Pipit marah ke gue?" Nada Lingga sedikit meninggi.

"Kata Pipit mantannya itu anak SMK. Enggak tau anak SMK mana. Cuma mungkin pas dia nggak sengaja ngeliat lo di gerbong kereta, secara nggak langsung lo ngingetin dia sama mantannya yang annoying itu." Siska menunduk, terlihat menyesal. "Itu menurut pandangan gue. Maaf, ya, Ga."

Lingga menepuk lengan Siska pelan. "Hei, kenapa minta maaf?"

"Gue ... takut kalau lo marah karena seakan-akan menyamaratakan anak SMK. Padahal gue percaya nggak semua anak SMK kayak gitu."

"Lo nggak salah. Yang salah tuh mantannya Pipit, pake bawa-bawa alamat IP segala," ujar Lingga sambil menenangkan Siska.

Kemudian Lingga menyadari sesuatu. Lalu, sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Lo pasti mau bilang hal ini ke gue dari dulu, kan? Sekarang bilang, gue harus ngapain buat nolong Pipit." []

Pesan: Boleh Minta Kontaknya?Where stories live. Discover now