[2] kill me, heal me

Mulai dari awal
                                    

Namun Dazai tidak bisa langsung berbaring semudah itu. "Cosplayer," panggilnya menghentikan langkah si jingga.

"Apa?" Nada suaranya terdengar jengah. Seolah Dazai adalah anak kecil yang gemar menginterupsi.

"Ke mana kau akan pergi?"

"Misi," sahut Chuuya cepat, "orang biasa tidak boleh tahu."

Suara bantingan pintu terdengar kemudian, membuat Dazai tersentak di tempat. Ia mengelus dada untuk menenangkan diri.

"Iring biisi tidik bilih tihi," ulang lelaki itu sambil dengan berat hati berbaring di alas tidurnya.

Tidak senyaman ranjang di rumah. Namun cukup baik untuk mengakhiri sebuah hari yang aneh. Dazai perlu mengumpulkan energi untuk menerima hal ganjil lain ke depannya.

.

.

.

Malam berlalu dalam keheningan. Dazai tidur dengan amat pulas, bergulung dalam selimut tebal. Suhu ruangan cukup hangat terlepas angin malam di luar. Tapi ada satu hal yang membuat lelaki itu tiba-tiba terjaga. Suara hantaman keras ke tanah.

Kepalanya pusing karena mendadak bangun. Sambil memegangi kepala, ia beranjak, berjalan menuju pintu depan. Chuuya berpesan agar tidak membukakan pintu untuk siapapun kecuali Mori--tabib pemilik rumah.

Tapi persetan dengan peringatan itu. Dazai ingin tahu apa yang terjadi di luar sana. Dengan langkah pelan dan hati-hati ia meraih pintu geser, membuka sedikit untuk mengintip.

Tapi gelap. Bukan. Bukan gelap karena langit malam. Pandangannya seakan tertutup oleh sesuatu. Mungkin saja kain berwarna biru tua yang memiliki bau anyir darah.

Darah.

Dazai terbelalak, segera mendongak ke atas dan menemukan Chuuya tengah menatap padanya. Di wajah pemuda itu terdapat cipratan darah--asal bau anyir tadi.

"D-d-darah," gagap si brunette seraya merangkak mundur. Matanya menatap horor, berharap Chuuya segera pergi dari hadapannya.

"Mengejutkan sekali. Aku tidak menyangka orang yang ingin bunuh diri takut dengan darah," decih sang ninja pelan sambil berjalan masuk. Ia melepaskan yukatanya tepat setelah menutup pintu. Tidak peduli Dazai masih berusaha mengatur rasa takutnya akibat noda merah di tubuh Chuuya.

"Kau akan telanjang di sini? Setelah membuatku kaget setengah mati?" seru Dazai sambil berbalik badan.

"Apa masalahnya? Kita berdua laki-laki," sahut si jingga, "selain itu, pelankan suaramu. Aku bisa mengabulkan permintaanmu untuk mati kapan saja."

Perlahan Dazai menoleh, mendapati Chuuya masih mengenakan celananya. Tubuh bagian atasnya tidak begitu berisi. Namun bentuknya tetap saja bagus, seperti seorang atlet renang.

"Apa yang kau lihat?" Ninja itu benar-benar ketus. Dazai harus berulang kali makan hati untuk setiap tindakan yang ia lakukan.

"Aku melihat tubuhmu," jawab si brunette dengan pipi merona. Dazai pernah menyukai seorang lelaki dan baginya membuka pakaian--bagian atas sekalipun--adalah hal yang tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.

"Sampai wajahmu merah seperti tomat? Kenapa kau begitu aneh?" desis Chuuya kemudian berjalan ke dapur. Lelaki berambut jingga itu meninggalkan Dazai seorang diri di kamar depan. Ia ingin mandi, membersihkan diri selepas misi pembunuhan yang diperintahkan desa.

Pakaian kotor ditaruhnya di sisi bak. Ia mungkin akan mencuci selepas mandi, kemudian tidur untuk menebus malam. Mori akan selesai mengurusi para samurai esok hari. Ia pasti akan pulang pagi.

when the camellia falls | soukokuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang