Twee

18.3K 2.1K 117
                                    

Suara kicauan burung terdengar begitu merdu mengisi pagi ini. Sinar matahari juga terlihat menembus kaca menerangi seisi kamar.

Sosok mungil yang terbalut selimut itu tampak hanya menatap kosong langit-langit kamar. Sesekali helaan nafas terdengar dari sosoknya.

Gara sebenarnya sudah bangun setengah jam lalu. Hanya saja untuk bangkit dan keluar kamar rasanya malas. Tidak ada siapapun selain dirinya dirumah ini juga Mang Karjo yabg berjaga di pos.

Lantas untuk apa ia buru-buru kebawah? Tidak akan ada yang menyambutnya dengan senyuman. Mereka semua sibuk menata hidup baru tanpa melibatkannya.

Saat akan memejamkan mata kembali, Gara sempat mendengar suara dari luar kamar. Tidak hanya satu orang. Lalu disusul suara pintu terbuka.

Sontak saja Gara langsung beranjak dengan mata berbinar. Kakaknya pulang. Dan hal itulah yang ditunggu Gara selama ini.

Namun, belum sempat dirinya membuka pintu kamar, pintu tersebut lebih dulu terbuka disusul sosok wanita paruh baya yang masih tampak segar masuk kedalam kamarnya.

Gara pun memeberikan senyum hangatnya, berusaha menyambut baik kedatangan ibu tirinya.

"Kamu di suruh ke halaman belakang sama Ayah," ujar Dian dengan menatap malas pada sosok Gara.

Gara pun mengangguk lalu berpamitan pada Dian. Tepat saat dilantai bawah Gara dibuat terheran-heran. Ada tas besar juga beberapa koper yang dibiarkan di ruang tengah.

Sosok kakak keduanya pun membuat Gara memutuskan menghampirinya. Untuk melepas rindu tentunya.

"Kakak!" pekik Gara dengan netra yang berbinar.

Sosok yang panggil hanya menokeh sekilas lalu kembali menyusun pakaian didalam koper besar berwarna hitam.

"Wah, banyak banget kopernya. Kakak mau pergi kemana? Kak Syam juga ikut ya?" tanya Gara beruntun.

Yang ditanya hanya diam, seolah menulikan pendengarannya. Senyum Gara tampak pudar melihat reaksi kakaknya.

Sosok yang merupakan kakak kedua Gara bernama Daniello Anargya Danala. Putra kedua yang berumur 23 tahun. Jika Asyam memegang perusahaan keluarga. Maka Daniello lebih memilih membuka usaha kuliner.

Cabang kulinernya pun tersebar luas, bahkan ada yang sampai diluar negeri. Tentu saja itu semua hasil dari kerja keras Daniel yang sedari dulu hobi memasak.

"Daripada diam disitu, mending kamu pergi deh, sumpek tau gak," sinis Daniel tanpa perlu repot melirik sosok Gara yang merupakan adik bungsunya.

Gara tersentak sebelum senyum sendunya hadir bersamaan dengan dirinya yang berbalik menuju halaman belakang.

Sudah lama tidak bertemu tentu saja Gara ingin melepas rindu. Tapi, yang ia dapat hanya kecewa. Tak apa, mungkin besok rindunya bisa terbayarkan.

Halaman belakang yang luas ditumbuhi berbagai macam bunga pun tampak indah ditemani cahaya lampu taman. Dibawah pohon tepatnya di sebuah kursi Gara dapat melihat sosok Ayahnya tengah berkutat dengan laptopnya.

Dengan cepat Gara pun menghampirinya kemudian duduk tepat di samping sang Ayah. Hening menyambutnya kala Arfan yang terlihat fokus seolah tidak menghiraukan hadirnya.

Untuk mengisi sepi Gara lebih memilih memilin ujung sweater yang tampak kebesaran di tubuhnya.

Netra indahny pun berkeliaran melihat sekitar. Banyak bunga yang begitu indah. Dulu Bunda suka sekali dengan bunga. Jika pada hari minggu Gara akan membantu menyiramnya.

Ah, dirinya jadi rindu dengan Bunda. Berbagi cerita dengan Bunda adalah hal sederhana yang sekarang dirindukan oleh Gara.

"Kamu baru bangun?"

Pertanyaan itu membuat Gara menoleh pada Arfan yang masih sibuk dengan laptopnya.

"Enggak, Yah," jawab Gara seadanya.

Rasanya canggung sekali. Padahal sosok di sebelahnya merupakan ayah kandungnya. Yang dulu sekali bahkan sangat dekat dengan sosoknya.

Tapi, sekarang seolah ada sekat diantara mereka. Gara tidak lagi berani menyuarakan apapun jika tidak di minta.

"Kamu uda liat kan koper yang ada diruang tengah?"

Kali ini tatapan Arfan beralih padanya. Tiba-tiba saja Gara merasa asing dengan tatapan itu. Tidak ada lagi kehangatan dalam netra ayah untuknya.

"Kakak mau pergi lagi ya, Yah?" tanya Gara. Terlihat sekali bahwa Gara berusaha mengobrol dengan Arfan. Namun, Arfan malah kembali fokus pada pekerjaannya di laptop.

"Rumah ini akan dijual."

Deg

"Rumah ini dijual, Yah?" tanya Gara seolah memastikan bahwa yang ia dengar tadi tidaklah benar.

Namun, anggukan dari Arfan tentu saja berhasil membuat Gara terdiam di tempatnya.

"Kita bakal pindah kemana, Yah?"

Helaan nafas terdengar dari Arfan. Pria itu kemudian menatap lampu taman yang tidak jauh darinya.

"Kamu pulang ke rumah Bunda kamu," jawab Arfan dengan tenang.

Gara terdiam. Matanya tiba-tiba saja memanas. Dadanya pun terasa sesak. Ia dibuang?

"Kenapa harus ke rumah Bunda? Kenapa Gara enggak ikut sama Ayah aja?" tanya Gara dengan lirih.

Arfan terdiam sejenak sebelum berkata,
"Kamu lebih baik di urus oleh Bundamu. Kami semua sibuk bekerja. Setidaknya di sana nanti kamu ada yang perhatiin."

Alasan yang menurut Gara tidak masuk akal. Detik selanjutnya Gara pun mulai memahami bahwa Arfan tidak ingin hadirnya lagi.

"Aku mau ikut Ayah aja, boleh kan?" tanya Gara seraya menatap Arfan yang sama sekali tidak menoleh padanya.

Jauh dalam hatinya, Gara ingin sekali memeluk sosok Arfa. Rindu dengan kehangatan dari sosok Ayah. Namun, Gara menahan diri kala tau bahwa Arfan menolak halus hadirnya.

"Segera bereskan barang-barang kamu. Bawa seperlunya aja. Sisanya besok diantar ke sana."

Hanya itu saja. Gara yang mengerti Arfan tidak ingin berbicara banyak pun hanya mengangguk kaku. Lalu berpamitan untuk masuk ke dalam rumah.

Tidak pernah Gara sangka bahwa hidupnya akan seperti ini. Masih tak percaya bahwa hal ini terjadi padanya. Hadirnya yang dulu ditunggu lahir kedunia kini seolah tidak ada artinya.

Langkah Gara terhenti saat melihat bagaimana Dian yang memberikan perhatian pada kedua kakaknya. Pun dengan keduanya yang tampak tidak sungkan memberikan senyum.

Netra indah Gara sempat bertemu dengan netra Asyam. Gara memberikan senyum hangatnya lalu mengangguk sekilas dan berlalu dari sana.

Tidak ada lagi harapan untum tinggal bersama Arfan. Melihat bagaimana kedua kakaknya tampak nyaman dengan sosok Dian membuat Gara sadar bahwa selama ini dirinyalah yang membuat mereka jauh.

Dan satu-satunya yang bisa Gara lakukan adalah mengemasi seluruh barang miliknya yang akan dibawa kerumah Bunda.

"Enggak masalah kok tinggal sama Bunda," gumam Gara seolah menyemangati dirinya sendiri. Meski rasa sesak tak terelakkan. Pun dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

Jika perginya membuat Arfan dan kedua kakaknya bahagia, tak apa. Setidaknya Gara bisa berharap bahwa dirinya bisa membangun bahagia bersama Bunda.

Gara hanya bisa berharap bahwa Bunda pun mau menerima hadirnya. Sebab, jika tidak, kemana Gara harus pergi?

¤¤¤

Selamat membaca😊

Semoga suka dengan part ini ya😊
Maafkan typo.

Ig : @anisaadrm23

Salam manis,
Ans Chaniago

18 Juli 2020

Huis (END)Where stories live. Discover now