2

2.9K 227 7
                                    


Udara dini hari menyapa, membentuk uap air yang menghasilkan titik-titik embun. Merebakkan hawa dingin yang memusut dalam pori kulit. 

Sepi. Hanya ada sesekali suara irama jangkrik yang menemani.

Dalam sajadah biru, gadis bertubuh gempal itu duduk bersimpuh, mengadu pada Sang Pencipta.

Fahira mengangkat tangan ke atas, menengadah seraya merapalkan bait-bait doa.

“Allahumma innii as ‘aluka nafsan bika muthmainnatan tu'minu biliqooika wa tardho biqhodoika wataqna'u biathooika.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang tenang, yang percaya dengan pertemuan dengan-Mu dan menerima apa yang menjadi anugerah-Mu dan rela terhadap ketentuan-Mu.”

Netranya sudah dipenuhi kaca-kaca bening yang siap menetes. Bukan lemah, dia hanya tak menyangka, rumah tangganya akan seperti ini.

Jika pada umumnya malam pertama pengantin baru akan dipenuhi air mata bahagia, maka malam pertamanya dipenuhi duka yang menyesak dalam rongga dada.

Fahira mengambil mushaf, lalu membukanya. Lirih ia melantunkan surah Al-Waqi’ah dengan nada bayyati. Suaranya yang merdu, halus memberikan ketenangan hati bagi siapa saja yang mendengarnya.

Tanpa Fahira sadari laki-laki yang bergumul dalam selimut itu tidak benar-benar tidur. Sedari tadi Rafly menatap punggung istrinya itu dengan tatapan entah.

***
Baskara menampakkan eksistensinya, membiaskan cahaya yang menembus pada celah-celah gorden. Sepagi ini Fahira sudah berkutat di dapur.

“Udah, Nduk.  Biar simbok sama ibu yang nata di meja.  Kamu, kan dari tadi juga sudah sibuk masak. Oh, ya, mending kamu panggil suamimu suruh ke sini, ya,” ucap Irma pada menantunya.

Fahira mengangguk, menerbitkan senyum di wajah bulatnya.

Perempuan berkhimar coklat itu mengayunkan kaki, melangkah ke kamar. Namun, saat masih berada dua langkah dari pintu kamar, pintu sudah terbuka, menampakkan Rafly yang terlihat segar, mungkin habis mandi.

“Mas disuruh turun sama mama untuk sarapan,” ucap Fahira tersenyum tipis.

“Iya udah tahu,” jawab Rafly jutek.

Rafly langsung berjalan melewati istrinya begitu saja. Sedang perempuan itu hanya mengekor di belakang suaminya.

Di meja makan sudah dipenuhi berbagai makanan. Nasi pecel, tumis kangkung, sup ayam, omelet dan salad buah.

“Gimana enak, 'kan makanannya?” tanya Irma pada anaknya.

Rafly mengangguk cepat, sesaat setelah menghabiskan dua piring  makanan.

“Ya jelas dong. Istrimu memang pinter masak.”

Rafly yang sedang meminum pun langsung tersedak.

“Pinter, 'kan mama cari istri buat kamu.”

Laki-laki beralis tebal itu, merasa keki. Ia mengangguk perlahan. Mengiyakan ucapan mamanya.

“Mama perhatiin kok kamu sedikit pucat, ya, Nduk. Matanya hitam gitu. Pasti kecapekan dan kurang tidur, ya. Duh nanti kamu istirahat aja, ya.”

Irma  menatap khawatir pada menantunya.

“Ya, iyalah kurang tidur. Namanya juga pengantin baru, Ma. Begadang dulu, ya, nggak, Sayang,” sahut  Rafly asal, lalu merangkul pundak Fahira.

Tubuh gadis itu sedikit menegang kala tangan kekar Rafly menyentuh pundaknya. Rasa panas menjalar pada pipi, Memerah karena malu. Fahira hanya tersenyum canggung, sedikit kesal dengan ucapan suaminya.

“Saran mama, Fahira, kan masih kuliah mending kalau mau program hamil setelah kuliah aja bentar lagi, ‘kan udah skripsi.”

“Mama yang nyuruh aku nikah. Ya wajar kalau nanti Fahira hamil. Lebih cepat lebih baik ya, 'kan, Sayang.”

Fahira hanya menunduk dalam. Malu. Mungkin jika ia berani, ia akan menutup mulut suaminya. ‘Ngeselin banget, sih,’ gerutunya dalam hati.

***

Rafly melirik jam di nakas waktu menunjukkan pukul 12 malam. Ia menatap ke bawah melihat Fahira yang tidur di lantai hanya beralas kasur tipis.

“Ya ampun, nih, bocah. Kenapa nggak tidur di sofa aja, sih. Nanti kalau sakit aku juga yang repot. Masak iya sofanya nggak muat karena tubuh gendutnya.”

Seperkian detik ia diam, nampak berfikir. “Ok malem ini aku yang ngalah.”

Dengan hati-hati Rafly mengangkat tubuh gemuk istrinya ke atas kasur.

“Berat banget elah. Untung masih kuat.”

Sejenak laki-laki itu, mengamati wajah istrinya. Bulu mata lentik,  bibir proposional, hidung mancung, pipi tembam, kulit putih.

“Lumayan cantik juga sebenarnya,” ucap Rafly setengah sadar. “Eh ngomong apa, sih, Raf. Udah gila kali, ya, aku muji dia.” Rafly memukul kepalanya. Segera mengambil bantal dan selimut, beralih tidur di sofa.

***

Mohon krisannya, ya. Matursuwun.

FahiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang