04 - I will keep loving you

500 64 39
                                    

Kali ini,

kau sampai pada pertengahan hidupmu.

Kau bertemu banyak orang pada lembar satu dari tiga ratus enam puluh lima.

Kau tambatkan hatimu pada seorang wanita yang memijaki naungan yang sama denganmu.

Kau berikan segala afeksi,

menggantukan dirimu pada seseorang yang bersifat semu.

Kau yang memicu kehancuran itu,

sedang mengucap kalimat penuh rasa sesal yang menjerumuskanmu pada jurang gelap.

Membelenggumu sedemikian kuat.

Sampai sebuah kalimat rancu juga kenyataan pahit membawamu pada ketakutan besar akan sebuah perpisahan.

Pada akhirnya, kau kehilangan 'lagi.

- The J

•••

Beberapa hari terlewat tanpa terjadi hal penting di dalamnya. Aku sibuk mengurus toko bungaku, sedangkan Jimin sibuk dengan berkas kantornya, yah, dari awal Jimin sudah begitu. Selepas malam yang membuat aku menangis tersedu-sedu, Jimin tak berbicara lagi padaku. Dia memilih tidur di ruang kerjanya, pergi sebelum aku membuka kelopak mata dan kembali setelah aku bergulat dalam mimpi panjang yang tak akan pernah ada akhirnya.

Keadaan kami lebih canggung dari sebelumnya. Sangat asing. Kami tidak pernah bertemu padahal kami pulang ke rumah yang sama. Aku heran sebenarnya di sini siapa yang salah? Mengapa dia yang bersikap seolah-olah dia yang menyakitiku? Ah, benar, memang aku yang menyakitinya. Tapi, haruskah dia membalasnya seperti itu padaku? Berpikir sedemikian rupa membuat kepalaku sakit. Aku makin merasa bersalah karena seharusnya sebagai istri aku mengurus suamiku dengan baik. Bukan seperti ini.

Aku memikirkan banyak hal tiap harinya. Mencemooh sendirian sebagai gantinya sebab aku kesal, namun aku tak bisa mengutarakannya. Aku merutuki diriku sendiri pada akhirnya. Juga semesta yang semakin kurang ajar kelihatannya. Bagaimana bisa dia selalu mengetahui apa yang aku rasakan? Akhir-akhir ini sering turun hujan, bersamaan dengan turunnya bulir-bulir air mataku yang tak dapat lagi menampung sedemikian banyak.

Aku menangis dalam diam. Aku merindukannya. Demi apapun ini sulit. Kami selalu bertemu meski tak pernah menciptakan ruang obrolan yang nyaman, namun sekarang sepertinya akan semakin sulit. Melihat sorot mata Jimin untuk terakhir kalinya, aku tak bisa, mungkin memang malam itu aku menangis karena ucapan Jimin, namun sebagian besar adalah karena rasa bersalahku padanya. Bagaimana tatapan matanya mengikat pikiranku untuk terus mengingatnya.

Melihat Jimin yang terluka, itu jauh lebih sakit. Aku tahu pria itu mati-matian menahan tangis. Yang dikonklusi pria itu adalah; laki-laki tidak menangis. Ya Tuhan, jadi, untuk apa pencipta membuat air mata kalau tidak untuk dikeluarkan? Setidaknya dia harus membuat dirinya merasa lebih baik alih-alih bergulat dalam perasaan malu ketika orang mendapatinya menangis.

Aku tak tahu harus melakukan apa di sore hari yang sejuk ini. Aku hanya berjalan tanpa arah, tatapan yang entah berhenti pada objek mana, juga serebrumku yang kacau. Aku mungkin benar melangkah mengikuti kata hatiku. Mencari jawaban, juga sebuah pertanyaan baru. Bukankah begitu, tak akan ada habisnya? Tapi, mau bagaimana lagi, kaki-kaki jenjangku mengarah masuk ke dalam Columbarium dan berhenti tepat di depan tempat Seolji beristirahat untuk terakhir kalinya. Aku menghela napas, menatap gadis malang yang tengah tersenyum menawan dalam sebuah bingkai kotak. Senyum yang mungkin saja membuat Jimin jatuh cinta.

THEATRICAL ; PJMWhere stories live. Discover now