03 - Harsh reality

Start from the beginning
                                    

Tak bisa segampang yang dibayangkan. Harus saling gotong royong. Tidak egois, juga tidak memikirkan diri sendiri. Mereka membangunnya berdua, jadi harus dua-duanya mempertahankan. Tidak bisa hanya salah satunya. Lebih baik tidak perlu adanya kita kalau begitu.

"Maafkan aku."

"Untuk?"

"Karena tidak memberitahumu."

"Kau tahu itu dari dulu, kan? Tapi, kau tetap membiarkan aku mencintainya dengan penuh harapan pahit."

Mataku berkaca. Langit siang hari itu berubah mendung. Seakan-akan dia tahu apa yang aku rasakan. Aku tersenyum dalam kesedihan. Berusaha menahan bulir air mata yang semakin menumpuk pada kantung mataku. Mungkin Taehyung merasa bersalah karena secara tak langsung apa yang Jimin dan dia lakukan membuat aku meras aterasingi.

Aku pikir bertahun-tahun bersama mereka bisa membuat hubungan kami dekat dan tanpa ada rahasia lain di dalamnya. Namun, ternyata masih ada. Rahasia itu bahkan jauh lebih besar dari yang aku duga. Ternyata selama ini aku mencoba bertahan dengan penuh praduga-praduga positif namun sebaliknya. Jimin mencintainya. Dan itu benar-benar fakta yang menyakitiku.

"Aku pikir kau peduli padaku. Aku pikir kau—"

"Lalu kalau aku mencegahmu apa kau akan mendengarkanku? Bukankah kau keras kepala, Gyu?"

Aku dibuat bungkam. Ya, aku keras kepala pada apa yang aku inginkan. Aku menyimpannya tanpa pernah berpikir untuk melepaskan perasaan ini. Membiarkannya hancur lebur, lalu jatuh ke tanah, dan terbawa angin.

Aku menunduk. Taehyung mengeluarkan suara baritonnya yang datar sekali. Aku tak berani menatapnya. Aku juga salah, aku tahu. Kedua tanganku meremas kuat ujung rok yang ku kenakan. Taehyung kalau sedang serius sangat menyeramkan. Mungkin Jimin kalah? Ah tidak, mereka punya aura sendiri saat sedang marah.

Berpikir bahwa dia satu-satunya yang ku punya, peduli padaku. Padahal mungkin saja dia tidak peduli sedikitpun. Aku benar-benar merasa aneh. Aku kecewa namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku memendamnya. Aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana terkejutnya aku saat mengetahui fakta itu. Aku tak bisa. Itu menyakitiku.

"Pergi, Tae."

Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mendamaikan perasaanku. Gerimis merengguk pilu, membawa sisa-sisa perasaanku yang semu. Sepertinya, sendiri adalah ketenangan yang abadi. Siapapun bisa mendamaikan perasaannya hanya dengan sendirian tanpa seseorang yang berstatus penghibur, mungkin.

Tanpa perlu aku bicara dua kali. Pria itu melangkah menjauh dari tempat kami bernaung di detik-detik terakhir. Aku tak meliriknya barang sedikitpun. Aku pikir Taehyung juga merasa bersalah karena menutupi hal yang seharusnya aku ketahui sejak lama.

Namun, ternyata dia datang lagi. Dengan tiba-tiba, pria itu menarikku ke dalam dekapan hangatnya. Aku tak bisa lagi menahannya. Tangisku pecah saat itu juga. Betapa dunia tak mengizinkan aku bersanding bersamanya. Juga Tuhan yang sekali lagi kusebut tak adil padaku. Suara isak tangisku teredam bersama hujan yang semakin deras membasahi kami.

Aku tak mencoba lari dari pelukan Taehyung. Aku tak bohong, pelukannya membuat aku nyaman. Aku butuh sendiri, ah, harusnya sebagian orang peka kalau itu hanyalah sebuah kebohongan saat mulut tak tahu lagi harus mengatakan apa.

THEATRICAL ; PJMWhere stories live. Discover now