"Eh, si Teteh rambut biru."

Tentu saja itu bukan namanya, tapi tak butuh berpikir dua kali untuk tahu dialah orang yang dimaksud. Hanya dia yang berambut biru di sini. Awalnya tak ingin digubris, tapi seorang cowok sudah menyelonong di sampingnya, lebih dulu membuka lemari pendingin tujuan Resha, mengambil dua botol soda berwarna hijau dan menyerahkan selembar uang hijau pada ibu penjual. Begitu menerima uang kembalian, dia kembali menoleh ke arah Resha sambil tersenyum lebar.

"Ketemu lagi, ya? Mau jajan?"

Ya menurut ngana? Resha menghela napas, menyabarkan diri. Cowok aneh ini lagi. Berbeda dengan kemarin, kali ini dia mengenakan kemeja biru dongker yang lengannya digulung sampai ke siku. Kalau saja tidak bertemu kemarin, Resha akan mengira cowok ini dosen dengan gaya casual yang... yah, keren. Dia harus mengakui itu.

Nggak, Sha. Fokus. Kemarin dia kan random banget.

Resha hanya tersenyum tanpa menggubris. Namun kelihatannya orang itu masih belum menyerah untuk mengusik.

"Kemarin saya kira Teteh masih bakal di sekitar lapangan, lho," tuturnya sambil mengambil langkah untuk lebih mendekat. "Tadinya mau saya antar pulang."

"Antar pulang? Untuk apa?"

"Soalnya kemarin kan kepala Teteh kena bola. Takut pulang sendiri malah pusing atau pingsan gitu."

Obrolan mereka tnampaknya didengar orang lain, karena si ibu penjual justru senyum-senyum, dan salah satu meja di dekat mereka yang dipenuhi cowok lainnya sudah bersiul. Respons dari sekitar membuat Resha sadar bahwa dia sedang berada dalam situasi yang harusnya dia jauhi.

"Syukurlah bola basketnya nggak bikin saya gegar otak." Resha tersenyum cepat, saking cepatnya sampai sepersekon kemudian senyum itu luntur, berganti dengan tatapan sinis. "Nggak perlu repot-repot."

Padahal Resha sudah sebegitu blak-blakannya menyindir, tapi dia justru masih memasang senyum, bahkan lebih manis dari sebelumnya. Melihatnya saja membuat Resha pusing.

"Kita jadi belum sempat kenalan," katanya sambil menyodorkan tangan. "Julian. Kemarin mungkin Teteh dengar saya dipanggil Ijul."

Meski setengah hati, Resha menerima uluran tangan itu. "Resha."

"Oh." Julian justru terlihat kaget. "Saya kira namanya Biru atau Blue gitu."

Ini orang terobsesi sama warna biru atau apa, deh?

"Tapi namanya tetap bagus, sih," celetuk Julian lagi. "Biasa dipanggil Echa, nggak? Kan namanya Resha tuh."

"Nggak."

Demi Tuhan, untuk ukuran cowok, Julian ini banyak omong sekali. Bahkan jika dibandingkan dengan Dimas, sahabatnya itu tidak pernah sebanyak tanya ini.

"Sha, minumnya udah?"

Kini suara lain masuk ke dalam obrolan. Nusa sudah kembali sambil menenteng plastik berisi kotak styerofoam kecil, barulah Resha sadar cowok ini berhasil membuatnya berdiri di tempat dan melupakan tujuan awalnya. Hanya dengan mengobrol saja, dia sampai lupa kalau kedatangannya ke sini untuk beli air minum.

Cewek itu menatap Resha heran, tapi ekspresinya berubah begitu memandangi Julian, sementara yang dipandangi sempat tersenyum sebelum kembali bicara pada Resha. "Hari ini masih sendiri?"

Resha mengerjap heran karena pertanyaan itu. Mulai nih, pikirnya. Random lagi. "Maksudnya sendiri?"

"Siang ini saya nggak ada kelas." Julian melanjutkan sambil menyodorkan botol soda dingin pada Resha. "Masih butuh cari inspirasi nggak, Teh? Sekarang saya temanin deh, biar nggak sendirian banget. Hitung-hitung permintaan maaf saya karena kemarin mengganggu."

Butuh waktu bagi Resha untuk mencerna tawaran Julian, sebelum akhirnya menjawab dengan gelengan. "Nggak perlu. Hari ini saya maunya cari uang."

"Bagus dong. Saya juga pengin kalau cari—"

"Saya hari ini mau kerja, bukan buang-buang waktu sama orang aneh," sambar Resha cepat. Tanpa menunggu, dia langsung berbalik, sama sekali tak memedulikan Julian atau pun soda yang ditawarkan padanya tadi.

Resha tidak tahu itu jawaban doanya atau bukan, tapi dia jelas tidak butuh cowok gila penuh modus untuk menggantikan kehadiran Dimas. Digenggamnya tangan Nusa, membawanya keluar.

"Batagor lo juga udah, kan?" tanya Resha.

Nusa mengangguk meski wajahnya terlihat bingung. "Lo nggak jadi beli minum?"

"Di tempat lain aja deh. Malas di situ."

"Tadi itu Kak Julian, kan? Kok bisa lo ngobrol bareng? Dia senyum gitu lagi. Gue juga mau!" Nusa malah protes.

Kak Julian? Resha mengernyit. "Lo kenal, Nu? Dia lebih tua dari kita? Manggil gue aja pakai 'teteh' gitu."

"Yah, nggak kenal juga sih, tapi tahu," kata Nusa, lantas melempar tatapan horor pada temannya. "Lucu dong manggilnya—eh, bentar. Jangan bilang lo nggak kenal?"

Tanpa beban Resha mengangguk begitu saja. "Nggak minat juga kenalan sama orang gila."

"Sha, ya ampun! Masa Kak Julian dikatain orang gila, sih?" Nusa geleng-geleng. "Nggak ada orang gila yang bakal dipilih jadi ketua BEM fakultas."

"Memangnya dia kepilih? Nggak kan—"

"Dia ketua periode ini," potong Nusa. Telunjuknya kini terarah ke papan yang ada di luar kantin, memetakan struktur organisasi fakultas.

Mata Resha seketika membulat begitu menemukan nama yang dimaksud Nusa sebelumnya.

KABINET ABHIRAMA BAKTI

Julian Adhitama
Manajemen Bisnis 2016
Ketua

"Jangan bilang lo nggak pacaran sama Dimas karena sibuk pedekatean sama Kak Julian? Apa udah pacaran, terus lagi ngambekan?" sambar Nusa lagi, membuat Resha makin keheranan.

"Halu lo kejauhan," decaknya. "Kenal juga nggak, gimana ceritanya pacaran?"

Kepala Nusa mengedik. "Bisa aja lo pura-pura nggak kenal, kan? Siapa yang tahu."

Rasanya sudah cukup seram mengetahui orang yang jail dan sok dekat dengannya tadi itu ternyata ketua BEM, sekarang dikira pacar? Duh!

"Nggak mungkin yang begitu jadi pacar gue, Nu," kata Resha, kali ini terdengar pasrah ketimbang kesal.

Lagian yang gue kenal lama juga malah jadi pacar orang, apalagi sama yang kayak begitu. []

Fix Us Up (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang