Delapan Belas

2 0 0
                                    


Setiap orang berhak bahagia tanpa perlu mencari. Bahagia itu sederhana sebenarnya.

------

Kini Renata dan Peter sedang berdiri cukup jauh dari sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota Jakarta, kota yang sibuk dengan kemewahan, kemegahan, dan kemudahan. Tidak, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Kenyataannya, tidak pernah ada hidup yang mudah bagi siapapun.

"Bagi mereka, hidupmu adalah suatu berkat. Hidupmu yang kamu rasa hampa itu adalah hidup yang mereka impikan."

"Sebelum mereka tahu jika mereka mungkin tidak bisa tertawa bebas atau bercanda bebas seperti itu dalam hidupku yang penuh kemudahan," ujar Renata.

"Hm, kita memang seperti itu. Kita hanya bisa melihat permukaannya saja, lalu merasa hidup orang lain tampaknya lebih mudah. Tapi tidak, tidak pernah ada hidup yang mudah. Bagiku, bagimu, dan juga bagi mereka."

"Setidaknya mereka akan tetap bahagia karena selalu ada kehangatan dalam keluarga mereka."

"Darimana kamu tahu? Kamu tidak pernah benar-benar tinggal bersama mereka," Peter tertawa kecil.

Renata dan Peter sama-sama diam sejenak, melihat dan merenungkan kehidupan seperti apa yang sedang mereka amati sekarang. Mungkin mereka masing-masing sibuk membandingkan kehidupannya sendiri dengan kehidupan yang dimiliki anak-anak tanpa alas kaki itu, yang dengan ceria bermain di antara lumpur dan genangan air bekas hujan.

"Mereka juga mengalami situasi-situasi tidak menyenangkan, tentang apakah mereka masih bisa hidup besok? Mereka juga khawatir, apakah hidupnya akan terus sama seperti ini, tidak pernah merasakan punya alas kaki dan tidak pernah merasakan hangatnya rumah yang terbuat dari batu dan tembok."

Renata menoleh ke arah Peter dan menatapnya dalam-dalam. Ia tidak tahu jika Peter bisa berbicara sedalam itu, begitu tenang tanpa mengintimidasinya, membuatnya mengerti dengan cara yang berbeda dibanding Alex atau papi.

"Bersyukur, katanya itulah satu-satunya cara untuk tidak merasa menderita di dunia ini. Aku tahu, itu memang sulit. Tapi ku rasa, mereka pun bisa bertahan sejauh ini karena percaya jika bersyukur memang satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan saat ini. Kamu juga."

"Aku masih 18 tahun, belum tahu apa-apa tentang hidup dan kesulitannya. Aku juga masih mencari, bagaimana caranya bertahan hidup di saat dunia rasanya semakin aneh dan tidak masuk akal. Tapi yang aku tahu, bahagia bisa timbul dengan mudah, sederhana. Kita yang membuatnya terlihat sulit ketika kita merangkainya menjadi satu kesatuan dengan banyak syarat dan pola yang harus dipenuhi. Tapi bahagia itu soal perasaan. Itu subjektif dan tidak ada orang lain yang bisa mendefinisikannya untuk kita. Kita tidak perlu mencari kebahagiaan, kita hanya perlu belajar mengenali perasaan itu."

Renata tertawa mendengar kata-kata Peter. Ia benar-benar terdengar persis seperti Alex, sangat jauh berbeda dibanding penampilannya.

"Aku serius."

"Kamu terdengar persis seperti Alex. Jika kita tidak pernah saling kenal sebelumnya, aku akan mengira jika kamu adalah seorang novelis atau mungkin sedang kuliah di jurusan Sastra."

"Seni juga bisa mengajarkanku tentang itu."

"Benarkah?"

"Mau ku tunjukkan? Kadang pelukis selalu menyelipkan pesan-pesan tertentu lewat hasil karyanya."

"Mami hanya peduli soal kelas Bahasa dan musik, mungkin karena itu aku tidak tahu soal seni lukis."

"Baiklah. Karena kamu berteman denganku sekarang, kamu juga akan belajar pelan-pelan."

UndercoverDonde viven las historias. Descúbrelo ahora