Suara hingar bingar mulai terdengar di telinga kala memasuki kawasan taman utama kerajaan. Jujur aku belum menuju kemari karena jangankan tour berkeliling istana, ada waktu kosong lebih baik digunakan untuk beristirahat.

Lagipula aku buta arah, bisa - bisa aku tersesat dan paling parah malah terkena hukuman. Tujuan hdupku kini sederhana yaitu hidup tenang dan aman selama mungkin. Namun untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Manusia hanya bisa berusaha menghindar entah dari karma atau takdir buruk.

Menyeliap diantara para pelayan lain akhirnya kami bisa melihat dari jarak yang tidak terlalu jauh. Terlihat ada dua kelompok pria yang saling berhadapan yang sepertinya akan saling menyerang. Kedua kelompok dapat dibedakan dari jenis motif kain berbeda yang mereka kenakan.

"Itu Gusti Pangeran Anusapati !" Ucap Sawitri sambil mengarahkan telunjuk tangannya ke arah kelompok yang berada di kanan.

Tentu saja aku bisa melihat wajah galaknya walau dalam jarak pandangku ini. Tetapi mungkin itu memang ekspresi yang ditampilkannya di depan semua orang.

Ekspresi dingin, terkesan tidak peduli dan tidak ada binar ketertarikan akan kegiatan ini, tidak seperti orang - orang disekitarnya. Padahal ada Raden Sadawira di sampingnya yang terlihat lebih bersemangat. Bahkan Wasa dan Madra juga ada di barisan belakang. Apa Pangeran Anusapati juga diseret kemari secara paksa sepertiku ?

Memusatkan perhatianku pada orang yang berada di seberang Pangeran Anusapati. Kemungkinan besar itu Pangeran Tohjaya atau Pangeran Mahisa. Walau detail wajahnya tidak begitu jelas namun paling tidak dia memiliki ekspresi wajah normal bahkan senyum yang kadang tersungging dari bibirnya.

Sepertinya ini pertandingan untuk para pemuda. Apa sudah ada pertandingan sepak bola pada masa ini ? Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Napasku tercekat mana kala masing masing mengambil daun kelapa kering yang telah diikat dan ada di bagian belakang, tadi nyaris tak terlihat olehku. Bukan daun biasa ternyata, karena daun itu telah tersulut api, bahkan api masih ada disana dan belum hilang. Ini gila ...

Aku pengemar film action tapi menyaksikan adegan petarungan secara live sama sekali bukan gayaku. Melihat mereka saling menyerang dengan mengibaskan daun terbakar itu ke arah badan lawannya membuat bulu kudukku merinding.

Tetapi sepertinya ini semacam ritual karena ada beberapa pria tua yang berpakaian layaknya kaum Brahmana berada di pingir taman dan sepertinya merapalkan sesuatu yang terlihat dari gerakan bibirnya.

Gemuruh para penonton menambah semangat para petarung. Bahkan Sawitri sibuk memberi semangat pada pangeran, walau suaranya nyaris teredam oleh teriakan penonton lain.

Mengalihkan pandaganku dari adegan mencekam itu dan mencoba melihat awan di atas sana. Namun sialnya awan juga sewarna dengan kilatan api karena senja sudah tiba. Mungkin senja romantis dalam bayanganku telah berganti menjadi senja yang mistis.

Beberapa orang telihat terluka bahkan ada yang terjatuh "Sampai kapan pertarungannya selesai Sawitri ?" Tanyaku dengan pandangan miris

"Sampai mati lah, Rengganis !!!"

"APAAAA ... Mesti ada orang yang mati dulu !!!"

"Huuuus sembarangan !!! ... Apinya yang mati Rengganis, bukan orangnya "

"Tapi dari tadi apinya nggak mati - mati !!!"

"Lah ... memang serunya disitu."

"Seru endasmu " desisku pelan

"Apa kamu bilang tadi ? Jangan bisik - bisiklah kalau bicara. Di sini ramai jadi suaramu terbawa angin jadi tak terdengar. "

"Aku balik ke pendopo yaa. " Pamitku pada Sawitri sambil menyibak kerumunan tak sanggup menyaksikan atraksi itu lebih lama lagi.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now