Part 1-Naya dan Hari ini

64 25 17
                                    

Kurang lebih lima belas menit, Naya mengayuh sepedanya dan kini Naya memarkirkan sepedanya di parkiran sekolah. Tidak banyak yang menggunakan sepeda untuk berangkat ke sekolah. Rata-rata dari mereka lebih memilih mengendarai motor bahkan, mobil. Ayolah, ini Jakarta Naya, bukan Bandung.

Naya mulai melangkahkan kakinya ke dalam gedung sekolah yang sangat besar dan mewah itu. Sudah dipastikan, siswa-siswi di sini pasti kebanyakan dari kalangan atas. Kalaupun ada dari kalangan biasa, mungkin karena beasiswa atau bantuan sebagainya.

Sedikit aneh rasanya melangkah sendirian di antara orang-orang tidak dikenal yang terus saja menatap Naya, seakan ia makhluk paling aneh yang baru saja mereka temui. Karena memang sedari tadi, Naya tidak melihat siswi berjilbab selain dirinya. Baiklah! Naya memutuskan untuk bertanya ke salah satu siswi, dimana ruang kelas sebelas IPA 1. Ia sudah cukup pusing memperhatikan tatapan yang entah mengandung arti apa.

"Assalamu'alaikum, permisi! Ruang kelas sebelas IPA 1 dimana, ya?" tanya Naya tanpa basa-basi.

"Oh, kamu murid pindahan, ya? Kirain siswi baru kelas sepuluh," jawabnya tanpa menjawab salam Naya dan sama sekali tidak menjawab pertanyaan Naya.

Naya hanya mengulum senyumnya, dan mengulangi pertanyaannya, "Iya, maaf, dimana, ya?"

"Maaf, maaf, gue lupa. Dari sini lo jalan lurus ke depan, gak usah tengok kanan-kiri, takutnya lo malah tersesat gak ada yang nolongin, terus ada tangga 'kan? Lo naik deh, tuh. Kelas sebelas IPA maupun IPS ada di lantai dua. Kalau masih bingung, sampai atas lo tanya lagi. Paham gak?" jelasnya pelan-pelan sambil menahan tawa, begitu jelas seakan Naya adalah orang bodoh yang harus dijelaskan sejelas-jelasnya.

'Astagfirullah... Gak boleh su'udzon, Nay!' batin Naya.

"Terima kasih! Saya permisi," pamit Naya tanpa mengucapkan salam, entah dia seorang muslim atau bukan, Naya memilih tidak mengucapkan salam lagi. Salam yang tadi saja tidak dijawab.

Gelak tawa orang yang tidak dikenalnya tadi, pecah saat Naya mulai melangkahkan kakinya. Bukankah ia hanya bertanya dan tidak membuat lawakan sedikitpun? Jadi, siapa yang harusnya ditertawakan?

Menarik napas panjang dan tetap melangkah ke depan adalah pilihian Naya. Ia 'tak mau ambil pusing dengan mereka yang bahkan tidak dikenalnya. Semoga saja, mereka tidak membohongi Naya soal ruangan kelasnya.

Tangga demi tangga Naya tapaki, tiba-tiba ponselnya bergetar. Naya mengambil ponselnya di saku baju seragamnya. Ternyata, itu pesan dari Arhan, Abangnya. Naya pun langsung membalasnya dan menghentikan langkahnya di tangga, yang baru saja dinaiki empat tangga.

Bang Arhan
Assalamu'alaikum, dek. Kamu dimana?

Naya
Waalaikumussalam, di tangga, Bang. Mau ke kelas. Kenapa?

Bang Arhan
Ke kantor kepsek dulu. Tadi, Abang ditanyain Pak kepsek, Abang bilang berangkatnya gak bareng kamu.

Naya
Astagfirullah, Bang! Kok pak kepsek bisa tanya Naya ke Abang? Kan udah Naya bilang, jangan ada yang tau. Astaga!

Bang Arhan
Astatang!!! Abang gak kasih tau, ya ampun! Kan yang daftarin kamu Abah, ya pak kepsek taulah. Aneh!😭🔨

Naya
Oiyaya, bang. Yamaap:) Ya udah, dimana ruangannya?

Arhan memberi tahukan dimana ruangan Kepala Sekolah. Naya bersyukur karena ia belum sampai di atas. Ia pun memutar langkahnya menuju ruangan yang dimaksud.

Kali ini, koridor telah cukup ramai dengan para siswa, tentu saja, lima menit lagi bel masuk berbunyi.

Tak butuh waktu lama, Naya sampai di depan pintu Ruang Kepsek. Naya mengetuknya pelan sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum, Pak!"

Cerita Cinta Hanaya [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang