Eleven: Verified Caller ID

Start from the beginning
                                    

***

"Mulai malam ini kamu nginep ya, Rin," kata Berlyn tiba-tiba.

Orin terkejut dan menoleh pada pria yang sedang duduk di belakang kemudi. "Ish! Nggak lah!" tolak Orin seketika.

Wajah Berlyn terlihat tegang. Pria itu tidak sedang dalam mode bercanda. Sebab sejak mereka memasuki jalan raya, tak sekali pun dia melemparkan lelucon. Membuat Orin pun akhirnya bungkam dan memandang kendaraan yang ada di depan dan di sebelah kirinya.

"Kamu ada-ada aja, Bee. Apa kata tetanggamu nanti? Aku juga punya reputasi yang harus dijaga juga, kan?" Orin mengatakan keberatannya dengan suaranya yang lembut.

"Yakin deh, Rin. Nggak bakal ada yang berani komentar apa pun." Berlyn masih serius.

"Iya di depan kamu, Bee. Di belakang? Nggak tahu juga, kan?"

"Ngapain kamu ngurusin omongan orang di belakang? Selama kita nggak dengar, nggak akan masalah. Toh kita juga nggak ngapa-ngapain, Rin."

Orin membayangkan seperti waktu-waktu yang dia habiskan bersama Berlyn. Mereka tertawa, bertengkar, berdiskusi, lalu saling diam. Biasanya Orin akan tenggelam dalam aktivitasnya yang berhubungan dengan hobi. Sedangkan Berlyn menemani sambil membaca buku. Mereka bisa bergelung di atas karpet di depan televisi, atau di sofa. Tak jarang Berlyn tertidur lebih dulu. Membuat Orin bebas mengawasi pria itu sepuas-puasnya.

Tetapi selelap apa pun Berlyn tertidur, sering dia sadar kalau Orin sedang menatapnya. Dan membuka matanya pelan sambil berbicara, "jangan cuma diliatin, Rin. Disayang juga dong. Masa iya ini pipi dianggurin."

Dan Orin sambil tersenyum malu-malu mencium pipi pria itu dengan lembut. Menikmati teksturnya yang kasar karena sering terpanggang sinar matahari.

Tetapi bukan itu yang jadi masalah. Mereka memang tidak melakukan tindakan apa pun yang lebih jauh. Karena Orin sejak awal sudah menyatakan dengan tegas standar moral yang dianutnya. Bukan pula perkara Berlyn yang bisa mengabaikan segala omongan negatif tentang mereka. Itu karena mereka tidak berani ngomong langsung di depanmu. Tetapi mereka tidak segan-segan mengatakannya di depanku, Bee. Batin Orin.

Karena memang itulah yang dia alami di kantor. Sudah cukup buruk mereka sering merundungnya dengan omongan-omongan negatif yang membuat telinga Orin memerah. Orin tidak mau ketika suatu saat hubungannya dan Berlyn berhasil hingga jenjang pernikahan, yang membuatnya tinggal di wilayah itu, dia dikenal para tetangga sebagai pasangan yang sudah hidup bersama sebelum menikah. Dan andai omongan itu kelak akan didengar anak-anak mereka, bagaimana?

Bagi Orin, reputasi tidak hanya menyangkut harga diri. Tetapi juga berhubungan dengan urusan fitnah bagi orang-orang yang terdampak olehnya.

"Aku orang yang sangat peduli dengan reputasi. Aku nggak bisa sebebas kamu, Bee. Karena kita memang berbeda. Tidak bisa dong dipaksa sama. Emang apa pentingnya sih aku tinggal di rumahmu? Hubungan kita juga masih dalam tahap awal banget gini," kata Orin.

"Kita udah saling mengenal lama kan, Rin? Apa lagi? Sekarang, andai kamu bilang mau, saat ini juga aku akan ke rumah orangtuamu untuk melamar."

Orin terkejut. Tetapi berusaha terlihat tenang. "Kita memang akan menikah kalau memang berjodoh. Tapi nggak sekarang, Bee. Yang kamu bilang kita sudah lama saling mengenal itu, dalam medium yang beda kan? Kamu atasanku, aku bawahan. Saat itu aku lihat kamu sebagai seorang bos. Beda dengan sekarang."

Karena banyak hal-hal yang membuatku belum siap, Bee. Karena aku tahu hidupmu nggak sesederhana yang kelihatan di permukaan.

"Mungkin kita perlu mengawali dengan mengenalkan kamu kepada orangtuaku, Rin," kata Berlyn akhirnya.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now