Bab 2

28 8 1
                                    

Aku meremas ujung kemejaku dengan keras, seperti yang kubayangkan dalam pertemuan-pertemuanku dengan nenek sebelumnya jika ketahuan melanggar perintahnya.

Hukuman

Tapi sebelum itu terjadi, akan ada banyak nasihat yang berlangsung selama beberapa jam sebelum beliau memilihkan hukuman yang pas untuku, seperti hari ini.

Aku tak berani memandang wajahnya secara langsung, yang kulakukan sejak tadi hanya menunduk dengan keringat yang sudah membanjiri tengkuk dan leherku, uh hari ini aku lupa mengikat rambutku karena sudah diburu-buru oleh mas Satrya.

Yang pasti aku sudah tahu raut wajah nenek saat ini, bentuk alisnya yang melengkung hasil karya pensil alis terbaik, bibirnya berwarna merah menyala lengkap dengan kacamat baca dan talinya yang menjular dilehernya.

Tak ketinggalan kebaya jaman dulu dan kain batik yang selalu dibangga-banggakannya. Diusianya yang sudah menginjak 75 tahun, nenek nampak masih segar bugar.

"kali ini nenek benar-benar kecewa, kamu masih hubungan dengan si bocah bangor itu"

"namanya Barend nek, bukan bocah bangor"

Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku memandang nenek, namun saat mama menunjukan wajah garang tak sukanya, kontan aku langsung kembali menunduk. Sumpah kali ini aku benar-benar merasa ter intimidasi.

Mama, papa, dan juga mas Satrya lebih memilih duduk jauh seakan memberikan nenek kesempatan untuk memarahiku. Sepuasnya.

"tak ada pilihan lain, memang sudah saatnya, tak perlu menunggu kamu selesai kuliah dulu..

Kesabaran nenek sudah habis"

Aku kembali mendongokan kepala untuk melihat nenek, raut mukanya berubah menjadi tenang dengan senyum yang mengembang. Namun aku melihat ada bencana dibalik senyuman itu, aku takan tertipu kali ini seperti sebelum-sebelumnya.

Karena yakinlah, senyum nenek jauh lebih menyeramkan ketimbang wajah marahnya.

"kamu harus segera menikah dengan lelaki pilihan nenek"

Saat itu, bagai disambar petir disiang bolong..

Aku memandang nenek dengan sorot mata tak terbaca. Antara bingung, sedih, marah dan juga kecewa.

"nenek becanda?

Hahahaha... becandanya gak lucu nek"

Aku menoleh kearah papa, mama dan juga mas satrya yang memandangku dari jauh. Wajah mereka sulit di deskripsikan, entah senang atau sedih melihat situasiku kali ini.

Aku kembali menoleh kearah nenek, mencari wajah konyol atau wajah becandanya kalau nenek sedang dalam suasana hati yang baik. Namun gagal, hanya wajah serius dan garang disana, benar-benar tak bersahabat.

"neeeeek.... Aku belum beres kuliah.

Skripsi aja belum, nenek suka ngaco deh"

"Windi..... yang sopan sama nenek"

Aku merengut sebal kearah papa, terlebih saat beliau memanggilku dengan sebutan nama "Windi" yang menurutku sangat terkutuk.

"Glen....

Namaku Glen pa, bukan Windi"

"cukup... "

Aku terserentak kaget saat mendengar nenek berteriak lantang kearah kami. Aku kembali menunduk sambil meremas kemeja yang sudah terlihat kusut tak beraturan.

Kalau nenek sudah marah, maka tak ada yang mampu menghentikan beliau. Tidak mama, papa, atau bahkan kakek.

"pertemuan keluarga akan diadakan dua bulan lagi setelah kamu UAS..

Bukan Jodoh ImpianWhere stories live. Discover now