Entah apa yang terjadi, tetapi Chen terlihat sebisa mungkin melepas genggaman dari tangannya. Setelah berhasil lepas, psikolog itu pun mundur beberapa langkah.

"Sial ...," gumam Chen dengan pandangan tak percaya ke arah Zea.

Zea bangkit dari berbaring dengan susah payah, duduk di ranjang besar yang entah punya siapa. 

"Seharusnya kamu mengatakan dari awal kalau kamu menyukaiku. Jangan diam-diam mengecup punggung tanganku." Zea mengatakannya dengab tersipu, dengan riak-riak bahagia yang menggelitik perut.

"Kamu gila?" Chen menghela napas.

"Enggak! Aku dengar semua ucapanmu tadi, hanya terlalu lelah untuk membuka mata." Zea berkelit.

"Bagaimana dengan Dipa?" Chen melontarkan pertanyaan.

"Dia udah enggak berharga ...."

Chen melongo, jelas sekali kalau lelaki itu sedang merasa tidak siap dengan kejutan. Sementara entah mengapa Zea tidak bisa mengendurkan otot-otot bibir yang terlanjur mengembang. Namun, keduanya tersentak, lagi-lagi dikejutkan oleh dering ponsel Chen.

"Ya?!" Terdengar Chen menjawab dengan tergesa dan suara keras. Kemudian, keningnya berkerut, sebagaimana Zea juga turut mengerutkan kening.

Tidak lama, terlihat Chen menurunkan ponsel dari telinga. Matanya memandang Zea dengan tidak yakin.

"Ada apa?" Zea bertanya dengan penasaran.

"Anita bilang dia menemukan sesuatu yang menarik terkait kasus Kaisar. Kamu mau ke ikut ke rumah sakit?" Chen melangkah mendekati lemari dan membuka pintunya. Ditariknya mantel berwarna hitam dari sana. Kemudian berbalik sambil mencoba mengenakan mantel, tapi memaki begitu menyadari kalau Zea sudah berdiri sangat rapat dengan di belakangnya. "Sial!"

"Apa ini kamarmu?" Detektif itu bertanya sambil menatap sekitar. Takjub dengan pernak-pernik modern yang terdapat dalam ruang tidur itu.

"He'em." Chen menjawab bergumam, sambil memperbaiki letak mantel yang belum sempurna.

Zea membelakakkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia benar-benar berada di kamar Chen, membuat hatinya berdebar tak karuan.

"Ini enggak seperti yang kamu bayangkan, Erotomanian!" Chen mendorong kening Zea dengan telunjuknya, lalu berjalan melewati perempuan itu ke arah pintu.

Sialnya, sentuhan pada kening membuat hati Zea kalang kabut. Kedua kakinya seakan melekat tak sanggup bergerak.

"Apa kamu enggak mau ikut?"

Suara Chen membuat Zea memutar tubuh secepat kilat. Terlihat Chen sudah membuka pintu kamar lebar-lebar. "Aku ikut!" sahutnya, lalu segera menghampiri pujaan hati yang baru.

***

Chen mengetuk pintu yang di daunnya bertuliskan nama Anita Ayudika. Tidak menunggu sampai dengan penghuni di dalamnya menjawab, didorongnya pintu terbuka dan masuk ke dalam. Zea tentu saja mengikuti rapat di belakang.

Keduanya segera disambut oleh Anita. Perempuan itu terlihat bersandar di meja kerjanya sambil mengamati berkas di tangan. Kepalanya terangkat untuk menatap tamu-tamunya yang datang.

"Kamu ikut?" Anita bertanya sambil menatap Zea.

"Aku pemilik kasus ini. Jika ini berkaitan dengan Kaisar Hengkara." Zea mendengkus, matanya menatap penampilan Anita yang tidak terlihat sebagaimana layaknya seorang ahli forensik. Dia terlalu gaya, bahkan terlalu seksi malam ini.

Bagaimana tidak? Malam ini dia memakai gaun berwarna pink dengan satu tali yang terlihat terlalu ketat membalut tubuh juga belahan dada yang rendah. Dia lebih seperti hendak menggoda lawan jenis, dari pada bekerja.

KEEP SILENT (Completed) - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang