Seven: Unseen Distance

Start from the beginning
                                    

"Setengah jam? Gila lo, Rin!" Anjar terkejut sambil melihat jam di layar komputer Orin. Hiks, sebentar lagi jam istirahat siang.

"Pak Dhani meeting sebelum makan siang soalnya."

Dan Anjar mati kutu mendengar alasan singkat tapi tak terbantah itu. Cowok itu masih bersungut-sungut di belakang layar komputernya saat Orin bersama teman-teman yang lain pergi ramai-ramai ke kantin. Kecuali Mila yang baru ikut nimbrung bersama mereka setelah Orin menyetujui pekerjaan yang baru dia selesaikan.

"Alhamdulillah, Orin nggak komplain. Bisa-bisa gue disetrap kayak Anjar deh, makan siang di meja kerja," kata cewek itu.

"Yang penting kerjaan kamu nggak ngaco mah, aku no problem," sahut Orin yang berjalan bersebelahan dengan Harvin.

"Lo kalau jadi bos, serem juga sih, Rin," gerutu Harvin.

"Ah masa sih? Aku bukan orang penuntut kok!"

"Justru karena lo jarang ngomong itu yang bikin susah dibantah!"

Orin nyengir dan segera mengambil tempat di salah satu meja yang kosong di kantin yang siang itu ramai sekali. Melihat kehadirannya, otomatis si Ibu Kantin segera nyamperin. The power of Berlyn banget ini mah. Dan Orin akhirnya terbiasa dengan hal ini.

"Rin lo berapa kali pacaran sih?" tanya Mila tiba-tiba.

Sumpah deh nih anak, hanya karena Mas Anom pacarnya kerja jadi anak buah Berlyn, merasa mereka berada dalam frekuensi yang sama.

"Ciyee... ibu-ibu dharma wanita divisi energi ini," celetuk Mei yang tiba-tiba nimbrung tanpa diundang. Cewek nyinyir yang selama kepergian bosnya jadi semakin menjadi nyebelinnya ini dengan tak tahu malu duduk di depan Orin.

"Serius nanya nih, Rin. Pak Berlyn pacar lo yang keberapa sih?" Mila tidak mempedulikan Mei dan kukuh pada pertanyaannya.

"Kedua," jawab Orin singkat. Tidak memalingkan wajah dari makan siangnya.

"Kedua setelah Mas Puji?" tanya Mei.

"Enak aja, woy!" bantah Orin kesal. "Aku nggak pernah pacaran tuh, sama Mas Puji. Patah hati aku dicuekin Mas Puji." Bantah Orin. "Pacar pertamaku pas SMP. Jadian dua hari doang. Trus putus gara-gara dia mau nyontek PR tapi nggak aku kasih."

Rombongan cewek-cewek itu tertawa terbahak-bahak. "Receh amat!"

"Dicuekin Mas Puji tapi dapetnya Pak Berlyn mah nggak rugi, Rin," sahut Harvin.

"Eh iya, Orin mah gila. Diam-diam aja, tahu-tahu jadian sama Pak Berlyn."

Nggak diam-diam juga kali! Mereka pasti tidak tahu bagaimana jungkir baliknya perasaan Orin ketika pertama bertemu dulu. Atau kegalauan tak berkesudahan saat pria itu memperpanjang masa tinggalnya di Belanda. Sekarang? Orang juga pasti melihatnya hanya sebatas permukaan. Tentang Orin yang ke mana-mana didampingin Berlyn, saat pria itu sedang memiliki waktu luang. Tanpa mengetahui bagaimana gadis itu harus berjuang menyesuaikan diri dengan popularitas Berlyn. Dan berjuang mengatasi rasa cemburu yang menguras hati, kepada mantan istri dan mantan anak tiri.

Orang lain memang hanya bisa melihat ujungnya saja, saat sudah dianggap sukses. Tanpa mau peduli dengan proses panjang yang harus dilalui. Seta setiap tantangan yang harus dijalani.

"Bagi-bagi pengalaman dong, Rin. Gimana caranya bisa menangkap pria seperti Pak Berlyn itu. Gue juga mau deh dapetin satu aja. Kali aja rezekinya nular," Mei tanpa tahu malu terus mendesak Orin.

"Ah, lo Mei! Mana bisa minta nasib sama tapi usaha beda," bantah Mila.

"Masa?" Mei memandang Orin dengan lebay. "Usaha lo emang apaan, Rin?"

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now