"Duda casingnya doang, Na! Dia kan nikahin Irma hanya agar Vero nggak digugurin sama Irma, dan biar Vero punya bapak!" bantah Orin keras. "Aku respek banget sama dia, karena meskipun nggak masuk akal, Berlyn itu baik, Luna!"

"Kamu yakin Berlyn dan Irma itu hubungannya platonis? Mereka menikah sah lho, Rin."

"Eng ...."

"Kalau pun awalnya niat mereka nggak serius, hanya sebagai reaksi spontan untuk situasi darurat, selanjutnya kan kamu nggak tahu Rin? Mereka menikah bertahun-tahun tuh. Lagipula kalau emang Berlyn nggak niat serius sama Irma, ngapain dia beli rumah buat Irma? Ha?"

"Luna, kamu bisa banget bikin perasaanku kacau."

"Aku itu sedang membuka pikiran kamu, Rin. Biar kamu tahu apa yang kamu hadapi. Kamu harus tahu posisimu di mana dalam kehidupan Berlyn. Bener nggak dia udah move on? Bener nggak kamunya juga udah siap nerima semua ini?"

"Kami baru taraf memulai, Na. Baru belajar."

"Justru pada tahap awal ini kamu harus berjuang, Rin."

"Berjuang?" Orin membelalak.

"Berjuang melawan kebegoan kamu! Berjuang mengatasi keragu-raguanmu agar hubungan kalian jelas bentuknya. Kalau memang saling cocok, maju terus. Kalau memang kamu nggak sanggup, sebelum telanjur, kamu harus tegas memutuskan apa yang terbaik. Lama-lama aku beneran pengen ngadepin kalian berdua deh."

Melihat Luna yang sudah kehilangan kontrol emosi, Orin tertawa terbahak-bahak. Sekian lama berteman Luna memang masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau mereka dua pribadi yang berbeda. Tetapi Orin sayang sekali pada sahabatnya ini, karena di balik kata-katanya, dia bisa memikirkan apa yang terbaik untuk dilakukan.

Soal perasaan, Orin yakin 100% pada Berlyn. Serius. Kalau aku nggak serius, nggak mungkin aku merasa seperti ini saat Berlyn pergi.

Orin memasuki ruangan yang sudah ramai oleh aktivitas teman-temannya. Berlyn sudah berangkat ke lapangan Senin petang kemarin. Dan setelah setiap hari melihat pria itu muncul di depan pintunya, menjemputnya untuk berangkat bersama, pergi ke tempat kerja sendiri begini rasanya sungguh sepi. Padahal semula dia mengira semua akan berbeda, dan dirinya bisa kembali menjadi Orin yang dulu lagi.

Ternyata salah. Karena Orin yang sekarang berbeda dengan Orin beberapa bulan yang lalu. Karena Orin yang sekarang hatinya telah tertambat pada Berlyn. Dan saat pria itu pergi, dia merasa hampa.

Hari ini Pak Dhani juga sedang pergi. Membuat para asisten berpesta pora. Tidak ada acara pura-pura sibuk di balik komputer. Para cowok bahkan duduk bergerombol di meja kerja besar yang ada di tengah ruangan. Orin menyapa mereka dengan ceria seperti biasa dan berjalan menuju ke kubikelnya yang berada tepat di sebelah tempat mereka berkumpul.

"Bos-bos lagi pergi semua. Ke lapangan. Anak jalan dan jembatan juga bilang gitu," kata Anjar sambil meletakkan seplastik gorengan di tengah meja. Yang langsung merek serbu dengan gembira."

"Orang energi juga kok," Harvin nyeletuk. "Ya nggak, Mil?" tanyanya pada Mila yang baru bergabung. "Pacar lo ke lapangan kan?"

Mila, gadis berwajah manis dengan body seksi itu mengangguk. "Iya. Mas Anom kan asisten Pak Berlyn. Kalau Pak Bos pergi, ngikut lah dia."

"Yaelah, ngapain nanyain Mas Anom pacar Mila. Di sini kan ada Orin," Anjar nyeletuk. "Rin! Pak Berlyn ke lapangan ya?"

Orin menoleh dan bingung melihat para cowok sedang memandang kepadanya. "Iya. Kenapa?"

"Pak Dhani sedang pergi, Rin. Lo nggak usah ngoyo gitu kalau kerja!" ledek salah satu dari para cowok itu melihat Orin sudah menyalakan komputer dan siap untuk bekerja.

Orin bangkit sambil melempar Anjar dengan kertas yang sudah diremasnya jadi bola. "Iya, sih, Pak Dhani emang pergi. Tapi beliau bolak-balik telepon mulu minta kirim data," katanya yang akhirnya ikut nimbrung bersama teman-temannya.

"Frekuensi telepon Pak Dhani sama Pak Berlyn banyakan mana, Rin?" goda Benny. "Jangan-jangan Pak Dhani lebih kangen sama lo dari pada sama Pak Berlyn."

"Pasti Pak Berlyn lah!" celetuk Mila membela Orin. "Ya kan, Rin?"

Mila gini banget deh! Mentang-mentang pacaran sama anak energi. Orin nyengir.

"Iya, ya. Kalian sekarang kan sama-sama lagi janda dari divisi energi," seloroh Anjar.

"Iya, sama-sama lagi menjanda, tapi beda kasta," kata Mila kalem. "Orin mah janda pejabat."

"Mila ada-ada aja," komentar Orin santai.

"Tapi mending di energi kata Mas Anom, Rin. Sebelumnya kan dia di jalan dan jembatan, bantuin Pak Irsal. Wuih, Pak Irsal pelit banget! Kalau ke lapangan, kering!"

"Gimana Pak Irsal nggak pelit, kalau dia dikendalikan istrinya."

"Ya kali Pak Irsal pelit ke istrinya, atau orangnya nggak bisa dipercaya. Istrinya jadi over protective gitu," kata Benny sok tahu.

Orin ingin ikut nimbrung bicara. Tetapi seketika sadar bahwa dengan status hubungannya bersama Berlyn. Bisa-bisa dia akan kena imbasnya, menjadi objek gossip yang sama di antara temen-temannya.

"Nah, kalau lakinya Orin ini beda. Banyak yang bilang, ke lapangan sama Pak Berlyn dijamin makmur. Orangnya royal dan nggak pelit. Hobi banget traktir-traktir."

Kan? Dan Orin sebel banget ketika mereka menoleh pada Orin.

"Rin, ntar kalau udah resmi jadi nyonya Berlyn, jangan pelit ya? Kasihanilah kami-kami para bawahan," kata Harvin.

Orin belum sempat menjawab ketika lagi-lagi Anjar nyeletuk. "Pak Berlyn tuh, sama orang lain aja royal. Apalagi sama Orin. Bisa-bisa belum setahun pacaran, Orin dibeliin rumah. Sekarang kan gaji beliau pasti gede ya. Ditambah macem-mace bonus."

"Kalian kok jadi ngomongin dapur orang sih?" tegur Orin.

"Kan udah bukan rahasia lagi, Rin. Laki lo tuh ya, di atas angin sekarang. Bu Aryanti pernah nyeletuk lho, bonus Pak Berlyn luar biasa besarnya karena beliau bisa menangin negosiasi hak pengelolaan energi di Sulawesi itu. Padahal baru berapa bulan kan, gabung lagi di sini?"

"Orin mah gila, bisa dapet pacar kelas sultan gini."

"Yang gue iri tuh, barang-barang yang dipakai Pak Berlyn. Woy, branded semua!"

"Gue naksir Panerai Luminor-nya aja deh!" Harvin mendesah mupeng.

"Gila ya, jam tangan aja pakai Panerai. Basic salary kita jadi berasa reveh banget. Paling hanya cukup buat beli kacamata Pak Berlyn aja."

"Waktu beli barang-barang mahal gitu, lo ikut milihin nggak sih, Rin?"

Orin gelagapan ditanya begitu.

"Wiihh... kebayang. Orin mah tinggal kipas-kipas aja nggak usah capek-capek kerja, puyeng ngeladenin Pak Dhani. Suami lo udah kaya, Rin!"

Akhirnya Orin benar-benar kesal. "Tolong ya, mulutnya dikondisikan!"

Dengan wajah memerah gadis itu meninggalkan teman-temannya. Duh, obrolan kayak gini benar-benar membuatnya kesal. Seolah mereka sedang membicarakan orang lain. Bukan Berlyn yang dia kenal. Persetan dengan brand! Orin bahkan tak pernah mau tahu pria itu pakai barang apa dan harganya berapa.

Waktu makan siang, Orin kembali menjadi pusat perhatian ketika si ibu kantin dengan heboh menanyakan kenapa kemarin dia nggak nongol.

"Kemarin saya beli makan lewat delivery, Bu. Sibuk banget nggak sempat turun ke kantin. Kenapa?" tanyanya heran.

"Lah, tahu gitu Mbak Orin tinggal japri saya aja. Ntar makan siangnya biar diantar sama anak-anak ke ruangan. Pak Berlyn udah deposit banyak banget buat Mbak Orin."

Ha!

"Ciyee... yang udah dinafkahi! Tinggal menuju halal!" kali ini yang berkomentar adalah Mei si lampir.

Sumpah, rasanya Orin ingin menghilang saja karena menahan malu! Sialan, dikira aku piaraan Berlyn saja!

Kenapa jadi temen lebih enak daripada jadi pacar sih, Bee? Dulu kita berteman dekat. Rasanya bebas aja mau ngapain. Mau iseng mau ganggu juga nggak masalah. Kenapa sekarang semua jadi ribet gini sih?

Noted: jam di lappy aku 00.00 nih. Keren angkanya.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now