Three: The Things That You Want To Say

Start from the beginning
                                    

Orin nyengir. "Emang, kan yang jalani aku. Risiko ada sama aku. Ntar kalau aku patah hati, tinggal nangis-nangis ke kamu," katanya sambil tertawa jail. "Dan seperti biasa, kamu pasti nggak bisa nolak kan? Karena kamu udah sayang banget sama aku kan?"

Luna melempar Orin dengan gulungan kertas dan meninggalkan Orin sambil menggerutu kesal.

Setelah Luna pergi, Orin mengembuskan napas dengan lega. Tanpa kamu katakan pun sebenarnya aku udah ngerasain semua itu kok, Na. Bahkan aku sudah patah hati sebelum benar-benar memahami apa benar aku ini jatuh cinta sama Berlyn.

Itulah kenapa Orin membutuhkan ruang untuk sendirian tanpa Berlyn. Agar dia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, mengambil jeda untuk melepas lelah karena berusaha untuk beradaptasi setiap hari.

***

Acara makan siang bersama di kebun belakang rumah besar itu baru selesai ketika matahari sudah condong ke barat. Dengan sabar Irma menunggu ibunya yang sedang berbicara serius dengan ibunya Berlyn, mantan mertuanya.

"Mama, Papa Berlyn mana?" tanya gadis kecil yang beberapa waktu lalu telah berulang tahun keenam itu. "Kok belum datang? Kan sudah selesai acaranya?"

"Papa Berlyn masih kerja, Sayang," jawab Irma. "Jadi nggak bisa datang."

"Kerja jauh ya, Ma?"

"Iya."

"Nanti kita jemput di bandara ya, Mama?"

"Tentu saja. Nanti tunggu Papa Berlyn telepon dulu ya. Lalu kita jemput."

Vero, si gadis kecil itu merasa puas dengan jawaban ibunya. Dalam pemahaman kanak-kanaknya, dia mengenal Berlyn sebagai ayahnya. Yang harus bekerja jauh sehingga hanya bisa bertemu beberapa bulan sekali. Begitu juga ketika perceraian itu terjadi dan Berlyn harus ke luar negeri. Vero memahaminya dengan cara yang sama. Papa sedang kerja jauh. Nanti pulang dijemput di bandara. Sesederhana ini.

Kini gadis kecil itu berlari mendekati dua perempuan senior yang masih saling berbicara. "Oma!" panggilnya penuh semangat dan menghambur ke pelukan mama Berlyn.

Irma tersenyum, meninggalkan Vero yang telah aman di tangan kedua neneknya dan berjalan memasuki ruang tengah untuk menghampiri beberapa kerabat yang masih berkumpul di sana. Rumah ini sejak dulu memang telah akrab dengannya, tak peduli apa pun statusnya. Bahkan setelah dirinya tidak lagi menjadi istri Berlyn, keluarga ini tetap akrab dengannya.

Memang perseteruan kecil sempat terjadi selama proses perceraian itu. Karena mereka begitu terkejut setelah mengetahui kenyataan di balik pernikahannya bersama Berlyn. Tetapi secara perlahan semua membaik. Apalagi sekarang Berlyn pun telah kembali ke tanah air. Irma yakin setelah ini semua akan kembali normal seperti sedia kala.

Vero mungkin bukan cucu kandung keluarga ini. Tetapi ikatan batin di antara mereka tidak akan pernah bisa diputuskan oleh perceraiannya. Dan selamanya Vero akan tetap memiliki tempat khusus di keluarga ini. Bila Berlyn membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih, yang mereka perlukan hanyalah bersabar menunggu hingga pria itu terbiasa kembali dengan konsep statusnya yang pernah dan akan selalu menjadi sosok pria yang paling penting dalam pertumbuhan emosi Vero.

Sambil tersenyu Irma mengeluarkan HP-nya dan mengetik sebaris pesan untuk Berlyn.

Ber, lo kenapa nggak datang siang ini? Lo belum balik ke daerah kan?

Irma menunggu beberapa menit jawaban Berlyn yang tak kunjung tiba. Satu jam kemudian, ketika dia sudah meidurkan Vero di kamarnya barulah jawaban pria itu masuk ke ponselnya.

Gue kerja.

Irma duduk di sofa sambil membaca kalimat pendek yang terdiri dari dua kata itu berkali-kali. Berharap ada tambahan kata yang lain. Bagaimanapun dia merindukan keakraban yang hangat dari hubungannya bersama Berlyn dulu. Meskipun sudah tidak memiliki ikatan apa pun, setidaknya mereka masih bisa berteman. Dengan berat hati Irma harus mengakui kekecewaan yang dia alami karena tidak bertemu pria itu hari ini.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now