Gadis Malang, Gadis Tersayang (2)

804 96 5
                                    

Di jok belakang Vespa 946 berwarna hitam kebanggaan Ilyas yang tengah melaju kencang, Hanna duduk menggenggam kantong kresek berisi sebelah sepatu dan kaos kaki miliknya. Sebelum berangkat tadi, Ilyas meminjami jaket dan sandal untuknya. Meski kebesaran, tapi jauh lebih baik daripada mengenakan sebelah sepatu.

Benak gadis berusia sembilan belas tahun itu meraba-raba tentang situasi yang tengah ia hadapi. Pergi bersama pria asing bukanlah ide bagus, kakaknya sudah mewanti-wanti, akan tetapi ia tidak punya pilihan. Lagi pula, Ilyas adalah bos sang kakak, bukan? 

Saat Ilyas menepikan Vespa antiknya, Hanna tidak lekas turun. Gadis berkulit putih pucat itu menatap gedung SMK Bhakti Kencana, sekolahnya, yang masih berjarak cukup jauh. 

“Turun di sini,” pinta Ilyas.

Ragu-ragu Hanna turun, kemudian menyerahkan helm pada Ilyas. Ingin sekali ia memprotes tentang jarak mereka dengan sekolah yang masih jauh, tapi terlalu takut.

“Lu panggil aja mereka ke sini. Gue males kalo harus masuk.”

“Ta-ta-pi ….”

“Lu liat, kan, gue kotor gini?” Ilyas menaikkan sebelah alis. “Dah, panggil aja mereka,” tegasnya kemudian. Namun, Hanna hanya diam; menunduk sambil memainkan kresek yang digenggamnya. “Kenapa, sih?”

“A-a-ku … ta-ta-ta—”

“Takut?” potong Ilyas. Hanna mengangguk. “Pantes aja lu dibuli, Hanna. Penakut gini.”

“Ma-maaf.” 

“Ngapain minta maaf sama gue?” Ilyas tersenyum geli. “Sana panggil, gue liatin dari sini.”

“Ta-ta-pi, me-mereka g-gak d-di se-seko-lah.” 

“Gak di sekolah? Terus di mana?” 

Hanna menunjuk sebuah tempat di ujung jalan, tepatnya di samping sekolah terhalang dua gedung lain. “D-disana.”

“Oh … tempat apa, tuh?”

“Fo-fo-fotocopy.”

Ilyas mengernyit heran, tempat itu terlalu tertutup untuk sebuah usaha semacam fotocopy. “Ya udah, yuk naik.”

Sekilas Ilyas melihat senyum di bibir Hanna sebelum ia naik. Gelenyar aneh merangsak naik dari dada ke wajahnya, kemudian menjalar ke seluruh tubuh hingga gemetar ia rasakan di kedua tangan. “Gila.”

“A-apa?”

“Huh? nggak,” pungkas Ilyas seraya melajukan Vespanya. 

Tibalah mereka di tempat yang Hanna maksud. Sebuah rumah bercat hitam dengan gerbang besi yang menjulang tinggi, nyaris tanpa celah selain pintu masuk. 

“Di sini? Mereka di dalem?” tanya Ilyas setelah mereka turun, dan berdiri di depan gerbang. 

“I-iya.”

“Masuk.” Ilyas menatap Hanna yang malah menunduk. “Takut? Kan, sama gue. Yuk!” ajaknya sambil mengambil langkah masuk.

Ragu-ragu Hanna mengekori  pria tinggi besar itu. Saking takutnya, tanpa sadar ia meremas kaos bagian belakang yang Ilyas kenakan. 

Setelah memasuki gerbang, tampak tiga gadis berseragam putih abu sedang duduk di muka toko, Ilyas tidak mengerti kenapa tempat fotocopy ini begitu tertutup, karena kondisi di dalam biasa saja, seperti tempat fotocopy pada umumnya. Hanya saja ditambah makanan dan minuman layaknya kelontongan. Ketiga gadis itu sedang asik tertawa-tawa, dua di antaranya tampak menikmati membuat kepulan-kepulan asap rokok. Tanpa Hanna beri tahu, Ilyas sudah bisa menerka bahwa merekalah yang menyandera tasnya. Tak ingin berbasa-basi, ia segera menghampiri mereka. 

Hanna Tidak GilaWhere stories live. Discover now