4. Penguntit

6 1 0
                                    

Enjoy this chapter!

Mentari pagi yang bersinar cerah seharusnya membuat semua orang bersemangat untuk menjalani hari. Mungkin, beberapa orang di belahan dunia tengah bersiap menjalani aktivitas dengan semangat barunya. Namun tidak dengan El, gadis itu justru sibuk mendumel disepanjang jalan menuju tempat bekerjanya.

Senin. Hari paling sial menurutnya. Aigoo! Kenapa hari minggu secepat itu hingga ia harus berjumpa dengan hari yang tak lain dan tak bukan hari paling menyebalkan ini?

Setiap senin, ia pasti bangun kesiangan. Entah efek malasnya atau memang ia selalu ditakdirkan telat berangkat kerja dihari senin. Pokoknya, El sangat membenci hari senin.

Rasanya tidak adil, mengapa dari senin ke minggu berjalan sangat lama, sedangkan dari hari minggu ke hari senin sangatlah sebentar? Argh! Ingin sekali El meneriakkan hal ini.

Pagi ini---seperti biasanya di hari senin---El bangun kesiangan. Tepatnya setengah 8 pagi ia baru bangun. Sedangkan toko Koh Lim buka jam 8. Beberapa kali ia harus mengumpat karena waktu untuk bersiapnya berkurang setengah jam. Sial!

Dan lihatlah sekarang, saking terburu-burunya El lupa membawa kotak makannya. Tiba di toko Koh Lim, El segera menata semua buku-buku loak itu.

Toko Koh Lim memang menjual berbagai buku bekas 2-5 tahun kebelakang, tak ada tujuan khusus sebenarnya mengapa Koh Lim menjual---bahkan meminjamkannya layaknya perpustakaan---berbagai buku bekas itu. Meskipun bekas, tetapi banyak pengunjung yang selalu datang ke toko ini. Meski hanya sekedar membaca lalu pergi atau meminjamnya.

Bukan toko besar memang, tapi El sangat nyaman bekerja dengan Koh Lim. Selain baik dan suka berbagi, Koh Lim sudah El anggap sebagai ayahnya, ya, meski usia pria berdarah Tionghoa itu jauh diatas usia ayah kandungnya yang telah tiada.

"Kamu sudah datang, El?"

Sapaan itu membuat El yang semula fokus menata berbagai buku seketika menoleh ke sumber suara. Dengan senyuman khasnya, El menghampiri pria baya itu.

"Iya, Koh, hehe.." El sekarang kikuk didepan Pria Baya itu yang ternyata membawa putra bungsunya. El menatap cowok disamping Koh Lim,"Hai, Liam!" Sapanya sambil melambaikan tangannya.

Yang El tahu, Liam ini tengah kuliah di Universitas Negeri di salah satu tempat kelahirannya, Tiongkok. Beberapa bulan sekali, Liam akan pulang untuk mengunjungi orangtuanya. Ya, meskipun seringkali dimarahi karena harus bolak-balik, Liam tak keberatan.

William Chen, nama lengkap cowo bermata sipit itu. Jika El tidak salah taksir, kira-kira tinggi cowok itu sekitar 175cm dengan badan tanpa timbunan lemak sedikitpun. Kulit putih bersih yang kerap kali bersinar dibawah matahari itu membuat El---bahkan semua cewek---iri melihatnya.

Liam---panggilan akrabnya---mendekat ke arah El, dengan cengirannya, ia mengusap rambut El,"Hello, El, long time no see."

El mengerucutkan bibirnya sembari menepis tangan yang ada di kepalanya.
"Ih, jadi berantakan, kan, rambut gue."

Liam justru tertawa, membuat El berpura-pura kesal. Begitulah El dan Liam. Mereka sangat dekat meski hanya berteman.

Koh Lim masuk ke dalam tokonya, sesekali ia menulis beberapa kalimat di buku catatan kecilnya. El tidak tahu untuk apa catatan itu dan apa isinya, ingin El bertanya tetapi ia rasa itu bukan urusannya.

"El," panggil Koh Lim, membuat El segera menghadapnya.

"Iya, Koh?"

El menatap gurat sendu dari wajah tua didepannya. Seperti ada kesedihan disana, namun El enggan menanyakannya.

G & E : This is Love StoryWhere stories live. Discover now