Aku melihat mereka tengah duduk bersama membentuk lingkaran, beralih pada senyum manis menyapaku. Laras. Perempuan kutemui tadi pagi. Ternyata Ratih jauh lebih dulu berada di sebelahnya, Ia begitu paham bagaimana mendekatkan diri dengan orang baru, syukurlah. Setidaknya ia adalah teman yang mampu menyesuaikan. Aku memilih duduk diantara mereka berdua sementara Fakhri duduk di sebelah Cipet dan Emen.

Suasana riuh penuh tawa terlihat dari bibir-bibir tak lagi mengatup, lekuk garis pada wajah terlihat jelas membentuk garis horizontal, bola mata menyipit saling memandang, menertawakan diri sendiri pun menertawakan satu sama lain. Rambut ikal bergelombang khas Aziz mendapat sentuhan baru, dililitkannya sebuah bando dari rangkaian beberapa bunga, memberi kesan sisi romantisme laki-laki dan kelembutan. Bukan hal yang menjijikan. Pada dasarnya kelembutan tetap dimiliki kaum adam, sisi kelembutannya berada dalam citra kekuatan yang dimiliki. Tak semua menyadarinya. Terkadang tingkah konyol membuatnya semakin hidup, bukan karena kekonyolan sebagai hal bodoh, tetapi seni kelenturan permen karet. Aku menyukai teori Aziz. Lentur bukan berarti tak punya pendirian, sesuatu yang lentur seperti permen karet bisa dengan mudah menyesuaiakan. Ia tahu bagaimana membentuk dan dari mana ia terbentuk. Ia tahu apa yang harus diserap dan apa yang harus dibuang. Kadang-kadang teori permen karetnya sangat pas untuk dicoba.

Sampai akhirnya Aziz melirik ke arahku, memetik melodi dari senar gitar kesayangannya. Suasana menjadi hening seketika. Petikan jemarinya menghasilkan nada-nada indah. Mendengarkan adalah cara terbaik sebagai seorang manusia yang di dalam tubuhnya mengalir jiwa-jiwa keindahan. Ia mempersilakanku untuk merangkai kata. Terlintas untuk membacakan sebait syair begitu bermakna. Secarik kertas itu tersimpan, aku mengingat-ingat rangkaian katanya.

Aku menghela nafas, membahasakannya dengan tenang.

Jika mendung dapat bersenandung, Aku dirundung tak lagi berdengung

Kian menjadi burung tak beruntung, Menghisap terang tak lagi benderang.

Seperti ilalang bercabang berada di belakang menjadi sebatang

Terbayang sebintang namun terbuang pada gelombang

Pecundang, kita terhalang bimbang yang tak berimbang

Menjadi binatang jalang menuju jurang

Pincang, karenanya kita adalah bait yang rumpang ditakdirkan sepasang.

Rangkaian kalimatnya tuntas sebatas utas, menjumpai dalam gelap pada tiap-tiap kata yang membara, raut wajahnya penuh dengan ketidaksiapan atas ungkapan alam, mengira hal patut atas kata-kata yang diciptakan sendiri. Ia menangkapku dengan sergapan mata, menelanku dengan pelan atas kelancanganku. Sementara lainnya mengindahkan dengan sorak dan tepuk tangan. Ia beranjak dari tempat duduknya, lekas pergi. Pun mengikuti.

Villa bagian belakang cukup gelap. Tak ada penerangan lampu yang dipasang. Hanya ada kilau cahaya dari kejauhan, untung saja dapat mengenali bayangannya. Aku menjumpai ia tengah duduk di pinggiran batu besar, tepat menghadap ke arah selatan lampu-lampu yang terlihat setitik. Pandangan lurus tanpa pernah menengok ke arah mana pun. Tak menghiraukan apa dan siapa tengah memerhatikan. Tak ada jalan lain, aku mendekat. Berdiri tepat di sebelah batu besar, sebelum akhirnya berusaha naik namun tetap gagal. Ia menjulurkan tangannya, menahan tubuhku dan tak sesulit yang aku pikirkan. Ia mengambil posisi duduk seperti semula. Tak ada sahutan setelah itu, terlihat hanya sikap dingin. Memaksakan aku untuk memulai percakapan. Lima belas menit berlalu ia masih tak mengeluarkan sepatah kata. Sementara, hewan-hewan kecil di antara kami berdua kian beradu. Sesekali mendapat celah untuk berpijak pada kaki dan tangan. Sangat tidak nyaman. Tanganku tak dapat berhenti menyergapnya dengan tepukan, sesekali memerhatikan raut wajah kosong Fahri tanpa pernah tahu seberapa bayak topeng yang ia pasang untuk orang-orang di sekelilingnya. Duduk bersamanya seolah membawa angin sengar sekaligus salju, dingin. Entah bagaimana ia bertahan? Dulu aku beranggapan ia adalah pemain bertahan terbaik yang kutemui. Ternyata hidupnya penuh dengan kekosongan. Mungkin terlalu cepat untukku menilainya, hanya saja bahasa tubuh adalah bahasa yang paling jujur dimiliki manusia. Sangat jujur untuk aku mengerti sorot mata, cara ia memandang. Kadang-kadang manusia juga merasa sangat pintar, begitu mengerti kondisi orang lain, di sisi lain tak mengerti bagaimana memperlakukan diri sendiri dengan baik. Memberikan tanggapan pada sesuatu sementara dirinya berputar-putar pada anggapan orang lain. Hidup ini begitu lucu, seseorang dengan mudah berubah karena seseorang. Wejangan-wejangan Abi kian terngiang di hembus angin, bahwa sesekali manusia perlu bertahan dalam kondisi apa pun. Ia melukiskannya seperti tanaman kaktus, mampu bertahan di padang pasir gersang, mampu melindungi dirinya dengan duri di sekujur batangnya. Ia mengerti kapan saat ia menyerang dan kapan ia memancarkan keindahan dengan bunganya. Perempuan layaknya seperti itu. Di sisi lain bagaimana dengan lelaki yang digambarkan sebagai sosok kuat dan jauh dari sebuah kelembutan. Mungkinkah tidak ada kelembutan di dalamnya? Hal itu kemudian digambarkan Abi seperti batang pohon kokoh dan air. Sekuat-kuatnya pohon berdiri tegak juga akan rapuh oleh tetesan air yang terus mengguyur. Perempuan ibarat air yang menghidupkan sekaligus menghancurkan. Semantara pohon ibarat lelaki dengan kekuatan. Tetesan air bisa menjadikan sesuatu yang kuat menjadi rapuh. Hampir sama, ketika Abi yang tak sanggup melihat tetasan air mata Ummi. Aku rindu Abi dan rumah. Angin malam ini begitu apik menyampaikan pesan walau hanya sekadar ingatan, ia membisik dengan pelan, tepat pada hati. Tak sadar membuatku meneteskan air mata.

Fahri melirik ke arahku "Kerinduan adalah hal manusiawi, bukti bahwa manusia memiliki rasa" Sahutnya pelan.

Bagaiamana mungkin ia bisa tahu apa yang aku rasakan. Setengah jam berlalu sejak kami duduk berdua, tak ada percakapan. Kecuali jangkrik-jangkrik kecil yang mengamini setiap keluh tak bernada.

"Bagaimana hidupmu?" Lanjutnya.

Aku menghela nafas, menghalau setetes air mata yang jatuh. "Kenapa Fakhr?"

"Bagaimana hidupmu?"

"Baik"

"Apa yang kau rasakan sekarang ini?"

"Senang"

"Mengapa?"

"Masih bisa berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi, pun sebaliknya"

"Jika tidak berkumpul lagi dengan orang yang kau sayangi? Kau akan sedih?"

"Pertanyaanmu aneh" Ujarku sembari bangkit dari duduk.

"Awas, hati-hati"

Aku menahan nafas, tangannya memegang begitu erat. hampir saja terpeleset. Batunya sedikit licin, ketika pijakan kaki ku tidak begitu kuat untuk menahan. Uluran tangan Fakhri seperti kilat yang menghambar, cepat dan tepat. Pegangannya tak kunjung lepas, tanganku sedikit kram.

"Boleh dilepas?"

Sekejap, ia pun melepaskan. Aku kembali duduk.

"Kau berasal dari mana?" Lanjutnya.

"Khayangan"

"Saya tak berharap kau menampilkan lelucon sampahmu itu".

"Setidaknya saya lebih paham menghibur diri sendiri".

"Orang tua mu di mana sekarang?"

"Di rumah"

"Di mana?"

"Kampung"

"Kapan terakhir kau pulang?"

"Libur semester lalu, ada apa?"

Fakhri tak menjawab.

Aku meluruskan kaki. "Kau marah karena saya membaca tulisanmu?" Lanjutku. "Kalo benar, saya minta maaf"

"Kau menemukannya di mana?"

"Dekat kebun teh. Kau mahir memainkan topeng."

"Apa maksdumu?"

"Seseorang yang tertutup kemudian berubah menjadi seseorang dengan sikap santai namun penuh kekosongan"

"Kau tak cocok jadi Psikolog".

"Saya pikir kau perlu menempatkan topengmu dengan baik. Toh, buku-buku tak mengiginkan kau menjadi pecundang dan kau tahu kebohongan terkecil manusia ketika tidak jujur dengan dirinya sendiri. Keberanianmu hanya saat pertama kali kau mengingatkanku untuk hati-hati".

"Kau seolah tahu tentang diriku, tapi ada dua hal yang paling penting untuk kau ketahui dari pada itu. Pertama, kau tak mahir melecutkan lelucon dan kedua kau tak cocok menjadi Psikolog. Seolah tahu tapi tdak.".

"Pikiran dangkal mengedepankan ego ketimbang memahami"

Aku bangkit, berlalu meninggalkan Fakhri. Meyakini bahwa malam tak selamanya gelap.

*****

Afeksi KaktusWhere stories live. Discover now