Epilog Love Story (end)

623 29 10
                                    

Masih dalam duduk, Robin mengangkat wajah Zoro. Ia menunduk dan mendaratkan bibirnya di bibir Zoro. Jawaban langsung. Begitu dalam. Tanpa kata-kata.

Semua pengintip terkejut dan menahan napas. Benar kan? Tidak ada yang bisa menebaknya.

Robin seolah meredamkan kegelisahan Zoro dan mendinginkan muka panasnya. Kalau itu Sanji yang tiba-tiba dicium Nami, baru ia akan blushing setengah mati. Tapi ini kebalik. Zoro memang belum pernah merasakan apa itu ciuman. Justru karena itulah, di tubuhnya serasa menjalar suatu sensasi yang luar biasa. Ia lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Robin, semakin menariknya ke dalam dekapan, menikmati setiap sentuhan lidahnya, dan membalas dengan sensasi yang sama. Rasanya seperti sudah menginginkan dari dulu dan saling memendamnya.

Tak lama kemudian, Robin pun melepaskan ciumannya. "Aku bisa menebak ini ide siapa."
Haha, batin Zoro gusar. Sudah kubilang pada si Alis Pelintir itu kalau ini bukan gayanya. "Tapi, kau suka kan?"
"Tentu saja."
"Syukurlah." Berarti usahaku tidak sia-sia meski serasa dipermalukan di hadapan yang lain, batin Zoro.
"Aku suka melihat wajah merahmu barusan," goda Robin. "Itu akan membuatnya semakin tak terlupakan."
Zoro sweatdropped. Jadi bukan karena segala keromantisan yang sudah dirancang?

"Fufufu..." Robin seolah bisa membaca pikiran Zoro. "Banyak hal. Pertama, baru kali ini aku merasa dikerjai oleh semuanya meskipun sudah mengendus ketidakberesan. Kedua, ini sungguh-sungguh kejutan bisa melihatmu tampil beda untuk moment ini, aku tahu kau pasti berusaha menahannya. Ketiga, tentu saja wajahmu. Aku jadi ingat saat kau mengenakan Mama-Shirt dan menggendong bayi waktu itu."

"Oooh..," kata Zoro melengos. Apa pun itu, setidaknya malam ini tetap berkesan bagi Robin.

"Kau tahu aku sudah lama menantikan hal ini," lanjut Robin. Tiba-tiba air matanya menitik jatuh.

Zoro terkejut. Ia reflek berdiri lalu mengambil sapu tangan yang terselip di saku dada jasnya untuk menyeka air mata Robin. "Maaf, membuatmu menunggu. Aku..."

"Tak apa," potong Robin. Ia tersenyum lembut sambil menggenggam tangan Zoro yang tengah mengusap pipinya. "Ini indah sekali, Zoro..."

Zoro menatap Robin, merasa memahami arti air mata dan panggilan namanya itu. "Ya, kau benar..."

Zoro pun duduk di kursinya sementara Franky mendatangi mereka. Ia menuangkan Bloody Wine 1975-Davy Jones pada gelas sampanye masing-masing. Zoro dan Robin bersulang. Lalu, giliran Chopper dan Luffy yang datang dengan mendorong troli hidangan spesial. Robin bisa melihat bahwa semuanya mengenakan setelan formal (meski bawahan Franky tetap dengan speedo kebanggaannya). Chopper membuka tutup hidangan dan membuat Zoro dan Robin terkesima. Sesuai dengan namanya, Sang Koki memang menghiasnya dengan kalimat "Selamat Menempuh Hidup Baru." Dasar koki aneh, pikir Zoro. Menikah saja belum.

Luffy dan Chopper pun kembali ke dapur, meninggalkan Zoro dan Robin menikmati waktu mereka. Mereka mulai membicarakan hal-hal yang romantis. Mengenang masa mereka pertama kali bertemu di Whiskey Peak, soal Baroque Work, sampai kemunculan Robin yang ingin bergabung. Zoro yang dulu bersikeras tak mempercayainya. Kebersamaan mereka di Jaya dan Skypea. Kejadian-kejadian yang diketahui Robin seperti soal mengasuh bayi dan pengorbanan Zoro di Thriller Bark. Mereka yang sering bertemu pandang di kapal, dan lain-lainnya.

Ussop tetap menyalakan lampu dan Brook tetap memainkan biolanya. Sementara itu...

"Hei, apa-apaan sih kau?" seru Nami saat Sanji tiba-tiba memeluknya dari belakang,
"Minta cium juga dong...," kata Sanji cengengesan.
"Dasar... Nih!" Nami menyanggupinya. Kecupan singkat namun sudah membuat Sanji meleleh.
"Aww. Mellorine!"

Hancock tak mau kalah. Ia pun menggeret lengan Luffy. "Ayo, kita ke kamar!"
"Eh? Sekarang? Tapi kita belum makan malam."
"Bawa saja makanannya."
"Asyik! Kali ini kau mau mengajariku gaya apa, Hammock?"

Lihat, kau tak lagi sendirian kan? Robin tiba-tiba terngiang-ngiang kalimat itu. Saat di mana ia masih harus mencari tempat bernaung dan sahabat yang benar-benar bisa menerimanya, ia selalu ingat ucapan Sauro. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan kehilangan sosok mereka dari dekat meski persahabatan mereka akan terus terjalin. Dalam hati, ia sebenarnya tak ingin sendirian kembali meski tak pernah takut untuk menghadapinya, karena itulah ia berkata apa adanya pada Nami waktu itu. Dan, ia memang menunggu perasaannya terbalaskan. Ya, menunggu moment itu akan hadir begitu nyata. Mungkin hanya ia wanita yang bisa sabar dengan sikap dingin Zoro –dan buta arah parahnya. Ia tahu hal itu akan segera tiba. Selamanya, ia tak akan sendirian untuk yang kedua kali.

Malam itu, bintang-bintang tengah menyaksikan mereka.

Love Story : ZorobinWhere stories live. Discover now