18. Desta

206 34 0
                                    

Bukan kali ini saja aku dibawa pergi berduaan sama cewek seperti ini. Aku nggak masalah. Resiko hidup sebagai cowok ganteng memang seperti itu. Selama nggak sibuk, aku pasti dengan senang hati meladeni mereka. Tidak dengan sekarang.

Walau ragaku bersama Sherin, pikiranku tertuju pada kemana perginya Alif. Kalau dia dari awal hilang nggak masalah, tapi dia hilang setelah bertanya - tanya mengenai Hesti. Sialan. Mau apa dia dengan Hesti?

Jangan salah sangka. Aku nggak peduli sama Hesti. Hanya saja Bibi. Aku terlanjur mengiyakan untuk menjaga Hesti. Kalau ada apa - apa, aku yang disalahin.

Sherin menarik lengan seragamku. "Kamu kenapa kok diam aja, Desta. Apa ada barang ketinggal?" Kayaknya dia menangkap perubahan sikapku.

"Nggak kok, nggak." Kepalaku muter ke kiri dan kanan. "Cuma merenggangkan otot aja, pegal. Masih jauh?"

"Nggak kok." Sherin menunjuk bangunan terpisah dari gedung sekolah. "Tuh tempatnya."

Kami masuk aula besar lapangan basket. Suara bising tibut - ribut cewek bersumber dari tepian tribun bawah banyak cewek berkumpul mengerumuni dua cowok. Salah satunya cowok keren sedang mendata sesuatu, duduk di tribune.

Aku pernah melihat wajah tirus si cowok alis tebal yang sedang mendata. Dia pernah masuk majalah top boy, sebagai cowok ganteng pemegang medali perunggu kejuaraan karate remaja putra tingkat regional. Kala itu aku nggak ikut turnamen. Maklum, faktor umur. Kalau aku iiut, dia mana punya kesempatan menang terus mejeng di kover depan majalah.

"Nico." Riang Sherin menghampiri tuh cowok. Si cowok pun, menyambut dengan senyum hangat. Kayaknya, mereka teman baik. Atau pacar? Entahlah.

Mereka ngobrol seperti semua manusia dalam aula hanya manekin, termasuk aku yang jadi obat nyamuk. Nico menggapai jari Sherin, terus dia elus elus pakai jempol.

Bodo amat. Serius. Aku nggak ada waktu buat memperhatikan mereka lebih jauh. Aku mau tahu Alif ngapain di lapangan. Hesti mau diapain sama dia?

Kan Alif jago basket. Hesti juga. Kata internet, kalau cowok dan cewek punya hobi yang sama, mereka bakal gampang dekat. Walau Hesti barbar, tetap aja dia cewek, kan?

"Desta." Sherin menarik jariku mendekatinya. "Kamu ngapain sih. Ayo, kenalan. Ini Nico. Nico, ini Desta."

"Hoo yang tempo hari katanya buat masalah?"

"Bukan buat," jawabku. "Tapi kejebak masalah."

Ketika berjabat tangan, nih cowok meremas tanganku. Apa masalahnya, hingga gini amat kenalan? Aku balas meremas tangannya membuat dia meringis ketika menyebut namanya. Sorry ye. Dia duluan yang mulai.

Nico bertanya, tanpa melepas pandangan sok ramahnya dariku.

Tiba tiba sehabis berjabat tangan, Sherin merangkul tanganku. "Gimana Nico, dia nggak kalah ganteng darimu, kan?"

Nico terkekeh. "Yang beginian banyak di Pasar Atom. Oke, masuk pakai koneksi. Namamu aku tulis paling atas, ya."

Helaan nafas panjang Nico ketika menulis namaku ke daftar list membuatku yakin, dia cemburu.

Ketus Nico berkata. "Kamu tahu, sekarang waktunya pendaftatan bagi cewek. Kamu cewek? Anyway, welcome ya."

Terserah. Aku malas ribut. Ada hal yang jauh lebih penting yang butuh perhatianku. Alif, Hesti, dan lapangan.

Maghnetic LoveWhere stories live. Discover now