Sudah dipastikan penampilanku berantakan dengan kain yang lebih pendek dari budak wanita lain. Jelaslah, karena tadi kusobek untuk membalut luka. Bodo amat lah, semakin jauh dari istana justru semakin baik. Monologku dalam hati.

Agak terhuyun karena dia tiba - tiba memegang bahuku lalu memutar tubuhku. Berasa lagi pemilihan sapi buat kurban. Mendesah perlahan dan dihadiahi tatapan membunuh darinya membuat bibirku otomatis tersenyum meminta maaf.

Tetap memasang wajah datar dia menariku ke bagian sebelah kiri. Di sana hanya ada empat budak lain, dua pria dan dua wanita termasuk wanita yang menjadi nenek moyang netizen di gerobak tadi. Lihat saja cara memandang pada diriku, seolah - olah aku adalah pelakor yang siap merebut suaminya. Eh ... emang dia sudah menikah ? ... aduh apa sebenarnya yang kupikirkan.

Memandang ke sekitarku ternyata kami dikelompokan ke dalam tiga kelompok yang berbeda. Kelompok di ujung kanan bahkan lebih banyak orang, termasuk wanita muda yang terluka tadi. Bodohnya aku, sampai lupa menanyakan siapa namanya sesalku dalam hati sambil menepuk kepalaku pelan. Tentu segera mendapat delikan tajam dari wanita julid di sampingku. Ini mungkin perasaan yang dirasakan muridku saat disuruh sekelompok dengan orang yang dibenci atau membencinya. Ngenes ...

"Bawa mereka pergi !" Perintah wanita tua tadi membuat para prajurit membawa kelompok sebelah kanan pergi ke arah awal mula kami memasuki istana. Sedangkan kelompok yang ditengah dibawa menuju arah timur atau barat, jujur selain buta nada aku juga sepertinya buta arah.

Setelah kepergian mereka "Kalian ikuti aku !" Perintah ketiga dari wanita tua membuatku menghembuskan napas pasrah. "Cepat jalannya !"tambah pelayan wanita di sebelahku.

Berjalan ke bagian selatan sepertinya hingga kami memasuki pendopo. Beberapa pelayan juga terlihat melakukan berbagai aktivitas. Kemudian aku dan wanita julid yang tidak kuketahui namanya itu digiring ke sayap kiri pendopo.

"Bersihkan badan kalian lalu ganti pakaian dengan ini, cepat karena Nyi Mas Garin sedang menunggu kalian ! " Pelayan wanita lain menyerahkan setumpuk kain pada kami. "Tunggu apa lagi !!!"

Berjengit karena kaget, lalu kami berdua mulai membersihkan diri di pancuran air tidak jauh dari tempat kami berdiri tadi. Jangan harap ada sabun atau pintu karena tidak ada sekat yang menghalangi kecuali dinding bersusun batu yang cukup tinggi. namun sepertinya tempat ini adalah tempat khusus untuk perempuan.

Aku pikir, hanya harus mencuci muka saja, namun wanita di sebelahku itu membasahi seluruh tubuhnya. Jadi aku mengkuti tindakkannya, karena tidak ada larangan dari pelayan wanita pengawas kami. Tapi, apakah aku harus berganti baju di sini ? memikirkannya saja membuatku malu, walau hanya ada perempuan disini tapi risih. Maka aku memandang wanita di sebelahku lagi. Merasa dipandang dia berkata "Apa ???" dengan muka songong pingin nabok.

Belum sempat menjawab, aku terkejut lagi "Kalian sudah selesai ? cepat ikuti aku karena aku akan memakaikan pakaian kalian." Aku mengucap syukur dalam hati, pertama karena tidak harus berganti baju di tempat terbuka dan yang kedua karena akan dibantu memakai kain - kain itu.

Walaupun Mama masih keturunan Jawa, namun paling - paling aku hanya memakai kain batik dalam acara - acara khusus, itu juga hanya satu kain, tetapi tadi kami diberi setumpuk kain. Apalagi aku tidak yakin bisa membuat kemben sendiri. Bagaimana jika salah lilitan dan mengakibatkan merosot tiba - tiba di hadapan orang lain ? ... Mati aja ...

Kami berganti baju dan tatanan rambut yang seperti dicepol, aku sendiri tidak tahu pasti karena tidak ada cermin disana. Paling - paling penampilanku 11, 12, 13, 14 mirip para pelayan tadi, namun sepertinya warna ikat pinggang dari kain yang menunjukan perbedaan jenis pekerjaan. Bahkan aku dan rekanku tadi berbeda warna.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang