Kedua anak manusia itu menoleh secara bersamaan ke samping mereka dan langsung menemukan seorang laki-laki dengan kaos olahraganya yang penuh keringat serta training panjang selutut tengah menatap keduanya dengan raut datar.

"L-lo?" Gadis yang biasanya dipanggil Jeva itu tergagap setelah menyadari siapa yang menegurnya. Ketua osis sialan.

"Apakah kamu tidak pernah diajarkan bersikap sopan oleh orang tuamu?" Vano tertawa remeh membuat Jeva semakin emosi.

Masalah dengan temannya─Gibran─masih belum selesai, ditambah hama yang hobi formal ini datang. Kepala Jeva serasa ingin pecah sekarang juga.

Sementara di tempatnya, Gibran aja duduk sembari menyimak perdebatan yang mungkin akan segera terjadi dan terdengar seru, bukan tanpa alasan, Ia benar-benar sudah malas berurusan dengan Vano yang merupakan anak emas guru-guru di sekolahnya itu. Kemarin saja, saat Ia tidak sengaja memukul salah satu temannya, Ia diseret ke guru BP oleh laki-laki bermarga Pradipta itu, padahal niatnya dan temannya hanya bercanda sebab kalah dalam permainan batu kertas gunting.

terlihat, Jeva mendengus kesal, lalu menarik tangan Gibran untuk mengajaknya pindah tempat. Sebenarnya Gibran enggan diajak berpindah tempat, karena sesungguhnya ia ingin menyaksikan perdebatan antara laki-laki emas dengan gadis bar-bar ini. Tapi, ia lebih baik menurut daripada harus pulang tinggal namanya saja.

Baru empat langkah Jeva berjalan, suara dari belakangnya benar-benar membuat emosinya naik ribuan kali lipat.

"Dasar gadis tidak beradab."

Jeva berbalik, merasa harga dirinya seperti dijatuhkan ke inti bumi.

Gadis berambut hitam itu menatap nyalang ke arah Vano. Sedetik kemudian, dia berjalan mendekati laki-laki yang masih berada di tempatnya dengan tenang itu. Jeva benar-benar merasa sudah dihempaskan harga dirinya. Persetan dengan laki-laki sialan itu. Orang salah harus tetap meminta maaf.

"Lo bilang apa tadi?" Jeva sedikit mendongakkan kepalanya untuk dapat mencapai mata Vano. Gadis berani itu menelisik jauh ke dalam sepasang obsidian pekat milik laki-laki yang menjadi ketua osis di sekolahnya itu.

Sementara Gibran hanya berani menelan ludah dengan susah payah di tempatnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana besok Jeva akan benar-benar dipermalukan di depan ribuan siswa yang tengah mengikuti upcara bendera. Gibran berani bertaruh bahwa Vano akan melaporkan ini ke BP, walaupun itu melanggar kebebasan karena kejadian ini berada di luar lingkup sekolah.

Ketua osis gila.

"Gadis tidak beradab," enteng Vano membuat Jeva samakin emosi dan ingin mematahkan leher laki-laki dihadapannya ini.

"Lo kenal gue belum genap dua tahun. Atas dasar apa lo ngomong kaya gitu?" tantang Jeva dengan penekanan disetiap kalimatnya.

"Ucapan."

Plak...

Laki-laki berkharisma yang dikagumi oleh semua warga sekolah itu, kini tertoleh ke arah kanan. Sesuatu yang lumayan keras menghantam pipinya sampai terasa sangat panas.

Sementara Jeva yang menjadi pelaku itu, kini tengah memegangi tangan kirinya yang terasa kebas. Ia pikir, emosinya tidak akan membawa telapak tangan manisnya itu menyentuh pipi seseorang dengan gerakan kasar sampai-sampai membuat seseorang itu tertoleh saking kerasnya.

Ada sedikit bekas merah yang terlihat sangat kontras dengan warna kulit Vano. Ia merasa sakit di pipinya mendadak menjalar ke seluruh tubuh, membuat dirinya gemetar dengan tangan yang terkepal erat. Vano marah.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: May 25, 2020 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

adagio, allegroOnde histórias criam vida. Descubra agora