Aaron berjalan di tepi sungai sendirian dengan damai. Menikmati tubuhnya yang tengah kembali normal, yang selalu ia dambakan. Cahaya silau jatuh ke matanya menarik perhatiannya, cahaya yang berasal dari tumpukan puing yang tengah membara. Aaron melangkahkan kakinya, mengulurkan tangannya kedalam bara api yang takluk padanya dan menarik sebuah cermin usang yang telah retak sebagian. Tangannya tidak terluka secuilpun, atau bahkan merasakan panas. Segera Aaron berjalan mendekat ke sungai Rae untuk membersihkan cermin di tangannya.

Sejak dia tertidur hingga sekarang, dia tak pernah menatap cermin. Sudah seribu tahun lamanya bagi pangeran Aaron dalam keabadian tidurnya. Atau mungkin seribu satu tahun lamanya. Siapa yang tahu? Karena alam yang pernah ditinngalinya tidak mengenal waktu. Yang pertama dia lihat dari pantulan cermin adalah gugusan bintang di langit malam.

Perlahan, Aaron mendekatkan cermin itu ke wajahnya. Dilihatnya sosok manusia dalam cermin, sempurna. Dia bahkan sudah lupa seperti apa rupanya dulu. Dan sekarang Aaron tidak tahu apa dirinya tampan atau tidak, karena dia pernah hidup di alam lain. Bukan alam manusia. Tampan atau tidak, tidak ada bedanya di sana. Mata kanannya masih semerah lahar gunung, seketika menggores perasaanya. Sontak dia membuang jauh jauh cermin di tangannya ke tengah sungai. Kutukannya membuatnya sakit hati. Dan sejak kebangkitannya, Aaron sadar dia tak bisa mengendalikan diri atau bersikap seperti manusia sewajarnya.

Dia diajarkan untuk mengendalikan kekuatannya oleh para jin, buka mengendalikan sikap dan dirinya. Namun, ada sesuatu yang Aaron tahu tentang perasaan. Manusia bisa merasakan cinta dan dia ingin merasakannya lagi. Namun itu hanyalah bisikan hati kecilnya, dan dia bahkan sudah lupa bagaimana caranya mendengarkan orang lain. Apalagi mendengarkan kata kata yang tidak benar benar nyata.

Kepakan sayap seekor burung yang ia kenal menukik ke arahnya. Burung hantu putih milik Aaron yang ia beri nama Bido adalah hadiah dari ayahnya atas kebangkitannya. Burung hantu pembawa kabar terlatih yang kini bertengger di lengan kekar pangeran membawa secarik kertas berstempel simbol Argrarin. Walau burung hantu adalah penerbang yang senyap, namun Aaron selalu tahu akan kedatangannya. Aaron sama dengan para garin lain, penuh rasa kasih sayang yang mengakar dalam dirinya.

Dibukanya gulungan kertas putih kekuningan itu. Secepat mungkin dia menemui para prajuritnya yang sebanyak dua ratus penunggang kuda. Ribuan sisanya ada di medan perang sedang menjalankan perintah rencana yang dibuat oleh sang pemimpin. Aaron tidak tertarik kepada pasukan Rootwale, dia lebih suka menjarah distrik terbuang dan penduduknya akan ia jadikan rakyatnya nanti.

"Semuanya! Ada landwalker tiga mil dari sini. Jika kita berangkat sekarang kita bisa menyusul tengah malam nanti! Ambil kuda kalian"

Selagi sebagian pasukannya berperang, sebagian lagi meruntuhkan Rootwale sedikit demi sedikit. Itu lebih baik, menjadikan penduduk moor sebagai rakyatnya dari pada mereka akan menderita menjadi landwalker selamanya. Aaron tau raja Imhof bukanlah pemimpin yang baik. Dan ini semua ia lakukan semata mata bukan hanya untuk memperluas kekuasaan, tapi memberikan jaminan hidup lebih baik bagi para landwalker moor.

♧♡♧♡

Tenda selesai didirikan. Selagi semua beristirahat, Auraya harus menemukan air.

"Nenek, ijinkan aku untuk mencari air. Persediaan tak mungkin cukup untuk di hari kedepan"

"Auraya! Kau tahu tempat ini sangat berbahaya"

"Aku bisa menjaga diri nek, kita juga harus bertahan hidup. Ku mohon.. "

Tiba tiba seorang pemuda berseru pada mereka berdua.

"Apa ada yang bilang mencari air? Bolehkah kami ikut?" Dua pemuda berdiri mendekat.

Ternyata itu Roran dan Ethan, bekas ajudan terbaik nenek Klars. Tentu saja nenek tak bisa menolaknya.

"Baiklah kalian bertiga, Carilah air untuk kita semua. Dan bawa kami semua kesana esok hari"

"Baiklah Nenek Lars" keduanya menjawab serempak.

"Dan tolong jaga Auraya"

Ketiganya mengangguk dan segera pergi ditemani sebatang obor yang dibawa Auraya. Auraya gadis yang pendiam dan sopan, namun semua orang tahu dia gadis kuat dan tegar. Mereka menyusuri padang rumput kering berharap bisa menemukan air, dan ketiganya memutuskan tidak akan pulang jika belum menemukan air hingga tengah malam nanti. Bukan masalah bagi pemuda tangguh seperti Roran dan Ethan, Auraya juga. Hampir satu setengah jam mereka berjalan, akhirnya usaha mereka membuahkan hasil. Mata air jernih di bawah pohon nan rindang menyejukkan hati. Segera mereka memasukanya kedalam wadah sebanyak yang mereka bisa.

Di tengah istirahat, tiba tiba Ethan memecah sunyi.

"Auraya.."

Auraya hanya menoleh sambi mengangkat alis tanpa memberikan jawaban.

Ethan mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah belati indah.

"Kau tahu, dulu aku seseorang yang lemah. Sampai nenek Klars meyakinkanku untuk menjadi pesuruhnya, aku termotivasi agar terus melatih diri"

Auraya hanya mendengarkan tanpa memberikan tanggapan. Namun dia mendengarkan dengan baik.

"Dan dia memberiku ini, untuk menjaga diri. Tapi.."

Kali ini Auraya menanggapinya. Dengan suaranya yang lemah lembut, dia bertanya

"Tapi apa?"

Ethan melanjutkan. "Tapi ku rasa kau lebih membutuhkannya dari pada aku sekarang ini" dia memberikan belati bergagang merah hati kepada Auraya.

"Untukku?"

"Iya. Gunakanlah dengan baik dan bijak saat kau membutuhkannya, dan jangan beri tahu nenek Lars dulu. Mungkin dia tak mengijinkan"

"Baiklah, aku janji. Terimakasih Ethan" Auraya menyembunyikan belati itu dibalik jubah hijau tuanya.

"Baiklah, ku rasa sudah cukup. Ayo kita kembali" Roran mengangkat satu periuk di puncaknya.

Perjalanan pulang tidak secepat saat mereka mencari air. Beban yang mereka bawa sedikit memperlambat. Namun ketiganya berusaha kembali sebelum tengah malam. Sesekali Ethan atau Roran meminta untuk beristirahat, bukan untuk keduanya, namun karena perhatian mereka pada Auraya.

♧♡♧♡

Kekuatan Aaron memang luar biasa. Begitu dahsyatnya hingga mengubah atmosfer di sekelilingnya. Pasukan berkudanya melesat secepat angin menembus malam seolah tidak merasa lelah sama sekali. Membawa aura penuh energi seperti api unggun yang menghangatkan. Tidak ada kata lelah, seluruh pasukan bahkan kuda yang mereka tunggangi seolah tersihir memiliki tenaga tanpa batas. Tak heran jika kemenangan Argrarin mutlak.

.

.

.

His Red EyesWhere stories live. Discover now