EMPAT BELAS

15 1 0
                                    


Kirana terus berlari menyusuri gang rumahnya. Ia tidak memperdulikan pakaiannya yang sudah basah oleh keringat. Saat ini, yang lebih penting baginya adalah keadaan Kano.

Melihat pintu rumahnya yang terbuka, Kirana semakin menambah laju larinya.

“Kano!” teriak Kirana didepan pintu.

Nampak empat laki-laki bertubuh atletis serta seorang dari mereka bertubuh kecil menatap ke arahnya. Mata Kirana menyusuri ruangan itu, hingga ia melihat Kano yang menangis di sudut ruangan dengan kedua tangan yang diikat serta seorang laki-laki  bertubuh besar yang mengawasi Kano dengan wajah garang.

Perasaan khawatir mengalahkan rasa takut Kirana. Kakinya melangkah ke arah Kano yang semakin menangis melihat kehadiran Kirana.

“Kano,” panggil Kirana. Kini, ia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangan Kirana terulur untuk menyentuh Kano namun laki-laki bertubuh besar itu menghalanginya.

“Akhirnya lo datang juga,” suara dari arah belakang Kirana membuat ia harus berbalik.

“Apa yang Anda inginkan?” tanya Kirana.

“Masih nanya lagi!” bentak laki-laki bertubuh lebih kecil diantara laki-laki bertubuh atletis yang saat ini ada dirumahnya, “bayar utang Ibu lo, Sekarang!”

“Sebentar,” ujar Kirana.

Kaki Kirana melangkah kearah kamarnya. Ia mengambil uang yang ia simpan dibawah lipatan pakaiannya. Kirana sedikit ketakutan karena uang yang ia miliki tidak cukup untuk membayar lunas utangnya.

Namun mengingat keadaan adiknya, segera ia berlari keluar menghadap si penagih utang. Kirana melihat sekilas kearah Kano dengan air mata yang sudah kering diwajahnya.

“Ini,” tangannya terulur memberikan uang kepada si penagih utang.

Laki-laki bertubuh kecil itu menarik uangnya dengan paksa. Lalu menghitungnya, “Kurang ini!” bentaknya.

“M..maaf. I..itu saja yang kami punya,” ujar Kirana ketakutan.

Tangan laki-laki bertubuh kecil mencengkram dagu Kirana cukup kuat, “Lo cukup cantik,” smirk laki-laki yang kini dihadapan Kirana cukup membuat bulu kuduknya berdiri, “kalau lo mau utang Ibu lo lunas, lo ha-“

“Hentikan!” kini suara wanita yang amat mereka kenali terdengar. Semua pasang mata yang ada di rumah itu menatap ke arah pintu masuk. Nampak Ibu Kirana dengan seorang laki-laki yang menurut Kirana kira-kira berkepala tiga.

Kini tangan laki-laki bertubuh kecil tidak lagi mencengkram dagu Kirana, “Akhirnya lo nongol juga, Ranti.”

Ranti berjalan ke arah laki-laki bertubuh kecil, lalu mengeluarkan amplop tebal berwarna coklat gelap yang  berisi uang yang Kirana yakin itu banyak, “sekarang utang gue lunas, John.”

Laki-laki yang diketahui Kirana bernama John membuka amplop coklat lalu menghitung jumlah uang itu. Senyum sinis hadir di bibir laki-laki itu.

“Sekarang lo pergi dan jangan ganggu anak-anak gue lagi,” usir Ranti.

John dan anak buahnya pergi dari rumah Kirana. Tanpa pikir panjang, Kirana segera mengahampiri adiknya dan membuka tali yang mengikat tangannya.

“Kamu gak papa sayang?” tanya Kirana sambil memeriksa keadaan Kano tanpa memperdulikan dua orang yang kini menatap mereka.

“Syukur Mbak datang cepat. Jadi, Kano gak kenapa-kenapa,” ujar Kano menenangkan Kirana yang kembali berurai air mata.

Didekapnya Kano dengan erat. Ah, Kirana jadi ingat tes beasiswa yang ia lewatkan.

“Kirana, Ibu ingin membicarakan sesuatu,” pinta Ranti.

Kirana melepaskan dekapannya lalu menatap Ranti yang kini duduk di sofa dengan laki-laki tadi, “Kirana bikinin teh dulu,”

Selang beberapa menit, Kirana membawa dua gelas yang berisi teh hangat. Lalu menaruhnya di meja. Kirana mendudukan bokongnya disamping Kano.

Kirana menatap laki-laki yang duduk disamping Ranti dengan penuh tanda tanya. Siapa laki-laki itu? Kenapa dia bisa dekat sekali dengan ibunya?

Kirana memberanikan diri untuk bertanya kepada Ranti, “Siapa laki-laki yang ada disamping Ibu?”

“Dia... kekasih Ibu. Dan, kami sebentar lagi akan menikah,” ujar Ranti.

Kirana berusaha mengatur emosinya, secepat itukah Ibunya melupakan Bapak? “Secepat itukah, Ibu akan menikah lagi?”tanya Kirana.

“Maafin Ibu Kiran, Ibu sudah lama menjalin hubungan dengan Mas Bram,” mendengar kata-kata itu, hati Kirana seakan-akan ditusuk-tusuk benda tak kasat mata. Inikah alasan Bapak pergi?

“Kirana Kecewa sama Ibu,” ujar Kirana sambil menarik tangan Kano pergi dari hadapan Ibunya.

“Kirana!” panggil Ranti, “bukan itu yang Ibu ingin bicarakan,”

Kirana berbalik badan menatap Ranti yang kini sudah berdiri menahan tangan kecil Kano, “apa yang ingin Ibu bicarakan lagi?” tanyanya.

“Ibu ingin Kano ikut pergi dengan Ibu,” pinta ranti. Lagi-lagi, jantung Kirana seolah-olah berhenti, bibirnya pun keluh untuk berkata serta air matanya kini hampir tumpah lagi.

“Gak! Kano gak mau pergi sama Ibu,” Kini suara Kano terdengar.

“Kano ikut Ibu ya,” rayu Ibunya.

“Gak!” teriak Kirana dengan lantang. Tangannya mendekap Kano dengan erat, “Kiran gak akan biarin Ibu bawa Kano pergi.”

“Kirana!” bentak Ibu. Laki-laki yang Kirana tau bernama Bram itu berdiri untuk menenangkan Ibunya.

“Sudah sayang, biarkan saja,” ujar Bram.

“Tapi Mas,” bantah Ibu. Bram seolah-olah menyuruh Ranti untuk menatap kearah dua bersaudara itu yang kini menangis tersedu-sedu dengan berpelukan yang cukup erat.  Hatinya terasa sakit melihat kedua anaknya seperti itu. Sungguh, alasan ia ingin mengambil Kano agar kehidupannya bahagia, namun sepertinya Kano sudah cukup bahagia dengan kasih sayang yang diberikan Kirana.

Ranti hanya bisa menghela nafas.

***

Thanks semuanya

See you next chapter

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang