Hari Yang Indah Untuk Kecewa

9 0 0
                                    

         kalau jujur, sebenarnya banyak hal yang ingin saya ceritakan. Masih banyak sekali,bermacam-macam. Dengan ekspetasi kamu senang mendengarkannya, senang dengan apa yang saya ceritakan, senang nunggu cerita saya, senang akan semua. Tapi setelah saya pikir-pikir itu mustahil. Kalau cerita dulu, itu mungkin saja sih terjadi. Tapi kalau sekarang saya ragu. Saya ragu karena isi kepala saya mungkin, yang jalan dengan pikiran yang rusak, pikiran yang melunjak, pikiran yang enggak seharusnya ada disana. Sebenarnya saya benci itu. Tapi kepala saya gak bisa nolak.
         Setelah saya pikir-pikir untuk kedua kali—dulu itu indah sekali ya. Dulu itu gak pernah sama sekali seperti ini, kalau diceritakan bisa panjang, capek jari saya. Tapi saya akan ceritakan secara Garis besarnya aja ya. jadi dulu itu selalu dan saling, gak pernah gak seimbang, gak pernah sepihak selalu sama-sama. Udah gitu aja, paham kan?Tunggu satu lagi ketinggalan, dulu itu bahagia. Udah. Jangan pernah berfikir semesta itu gak adil. Semesta itu adil, satu orang bisa membuat hati saya bisa merasakan banyak perasaan.
          Saya binggung, sebenarnya ini semua udah benar-benar berubah atau hanya isi kepala saya yang berantakan? Lihat, sekarang bahkan pikiran saya lagi terbang, lalu pulang membawa seonggok gumpalan yang isinya "dia lagi mikirin saya juga gak ya?dia sekarang lagi apa?apa dia tidak merindukan saya?apa dia tidak merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan sekarang?" Sungguh menyebalkan.
           Eh tapi, saya pernah berdoa seperti ini, tapi bukan lewat mengadahkan tangan melainkan lewat tulisan, Seperti ini. Tuhan juga pasti paham saya waktu itu sedang berdoa. Kurang lebih seperti ini 'maaf saya berdosa tapi saya harap kamu mendapat karma'. Alasannya karena saya gak mau merasakan ini sendirian, merasakan sakit dan sesak yang seharusnya jika saya menjadi orang lain pasti orang lain itu udah menyampaikan apa yang dirasakannya. Tapi saya beda, saya gak mau. Maaf saya lagi-lagi serakah tapi saya memang ingin dimengerti, lagi-lagi saya minta maaf karena menuntut hal yang bodoh.
             Pengen pulang dan menceritakan isi kepala saya. Tapi nyata disana rumah tempat saya pulang udah gak mengakui bahwa dia adalah rumah—Rumah yang dulunya selalu ingin ada saya disana, yang selalu nunggu kepulangan saya, yang selalu mencari saya, tapi sekarang rumah itu bisa dibilang hampir runtuh, pondasinya kurang kokoh, catnya kurang mendominasi dan pagarnya sudah tertutup rapat.
            Padahal saya ingin pulang ke rumah, saya ingin ketika saya pulang, saya disambut dengan hangat, diantarkan ketempat yang seharusnya saya duduk, diajak mengelilingi isi rumah itu, tapi ternyata saya cuma sekedar diajak lalu saya diberhentikan di depan pagar. Sedih ya. Lagi-lagi saya menggunakan harapan dengan kecewa sebagai kata terakhir.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

24/7Where stories live. Discover now