15

88 10 2
                                    

Soul pov

Sesuai perkataan Jimin, dia memberikanku jawaban untuk ujian Fisika dan Biologi. Aku yakin nilaiku akan sama persis seperti nilainya, aku mencontek semuanya dan sama persis.

"Yak! Jangan senyum-senyum seperti itu, kau membuatku takut," katanya dan memasangkan seat belt padaku.

"Kenapa? Senyumku ini ya sangat manis tau," kataku dengan menunjukan senyum lebarku yang membuatnya tertawa hingga matanya tinggal segaris.

"Lihat matamu hilang," kataku sambil menunjuk dirinya, "coba-coba perhatikan aku." Aku menyuruhnya untuk melihatku dulu sebelum ia menghidupi mobilnya.

"Apa?"

"Lihat ini berapa," kataku yang menunjukkan angka 4 dengan jariku. "Ayo tebak, ini berapa?"

"Kau kira aku buta?" Dia memalingkan wajahnya dan menghidupkan mobilnya, "mataku ini hanya sipit saat tersenyum atau tertawa, bukan berarti aku buta."

"Aish, aku kira kau tidak bisa melihatnya. Aku bersyukur kalau begitu." Aku menaikkan kakiku ke atas dashboard mobilnya.

"Memangnya kenapa? Kau ini tidak sopan mengangkat kaki seperti itu." Dia menepis kakiku dari dashboard mobilnya, sungguh kejam.

"Karena, kau masih bisa melihat kecantikkanku saat kau tertawa, aku sempat khawatir kau tidak dapat melihatnya saat tertawa." Aku menoleh ke Jimin yang sedang menyetir, "mana topi yang aku bawa tadi?" Aku mencari-cari di mana topi itu, aku kira di belakang kursi, atau aku mendudukinya tapi sama sekali tidak ada.

"Topi yang mana?"

"Topi itu loh, yang bulat." Aku menggerakan kedua tanganku menggambarkan lingkaran.

Dengan santai dia berbicara "Oh topi itu, aku tinggalkan di halaman tadi."

"APA!? Kenapa kau tinggalkan di sana!?" pekikku yang dapat membuat telinganya tuli. "Ya-ya, kau gila teriak seperti itu? Kalau aku jantungan bagaimana nasib kita nanti." Jimin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku tau dia sengaja mengalihkan topik tentang topi itu, "aish, ayo putar balik. Aku mau pakai topi itu saat kita kencan nanti." Kalian tau kan? Kepalaku sudah mulai kehilangan rambut, semakin hari semakin banyak rambutku yang rontok. Menyisakan kulit kepalaku yang sudah mulai terlihat.

Dia tidak menghiraukan kata-kataku, kurang ajar sekali Park Jimin ini. Untung saja dia kekasihku, jika bukan tadi sudah kumakan hidup-hidup dirinya sejak tadi.

"Jiminn," panggilku yang membuatnya menoleh dan membuka mulut, "kenapa sayang?"

Shit.

Itu adalah kata-kata sakral yang dia sebutkan untuk pertama kalinya semenjak kami menjadi kekasih. "Pipimu, kenapa merah? Kenapa kau suka sekali membuat pipimu merah."

Rasanya aku ingin menendangnya dari mobil ini dan kutinggalkan dia di tengah jalanan ini. Jelas-jelas dia yang selalu membuat pipiku merah seperti ini, awas saja kau Park Jimin.

Dan selama perjalanan aku hanya berdiam diri walaupun Jimin yang sudah menyanyi-nyanyi tidak jelas, membicarakan konspirasi Mermaid Man, bertanya mengapa rumah patrick adalah batu.

Sebenarnya dia tidak sebodoh itu, tapi aku tidak tau kenapa dia sangat bodoh hari ini. "Kita sampai," katanya yang melepas seat beltnya dengan semangat.
"Ayolah, kau dari tadi diam saja. Ada apa? Apa aku membuatmu kesal?"

Akhirnya, Semesta terima kasih. Walaupun dia baru menyadari sekarang, setidaknya dia masih memiliki kesadaran. "Hm," balasku yang singkat, padat, dan tidak jelas.

"Tadi kau senang sekali membuatku kesal, lalu kau teriak, sekarang kau malah diam dan hanya hm hm saja. Ada apa denganmu? Jangan bilang kau bisu." Jimin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh aku tau!"

"Apa? Apa yang kau tau?" tanyaku yang berharap dia tau bahwa aku kesal karenanya.

"Karena kau sedang...." Dan, ya. Sifatnya tidak pernah berubah, dari dulu selalu dan akan terus begini. Selalu saja berbicara setengah-setengah.

"Apa-apa?" Aku benar-benar penasaran dengan pemikiran dia.

"Kepo ya kau, kepo," godanya yang membuatku menjitak kepalanya.

"Aduh," ringisnya yang merasakan sakit karena jitakkanku super kuat itu. "Sepertinya dugaanku benar, kau ini sedang PMS. Tadi kau kesal, terus diam, sekarang kau memukulku. Jangan-jangan habis ini," katanya yang diakhiri dengan mulut menganga dan tangan menutupi mulutnya itu.

Persis ekspresi ketika kau mengetahui psikopat ada di rumahmu, "habis ini kau akan membunuhku?" Jimin langsung berpura-pura pingsan ke arah setirnya yang membuatku memutarkan kedua bola mataku.

"Kau ini, cepat bangun. Kita beli topi dan kencan." Aku membuka sedikit pintu mobil dan melihat Jimin yang masih saja berpura-pura pingsan.

Benar-benar habis kesabaranku, benar sekali. Aku sedang PMS, tapi dia ini semakin memancing amarahku. Aku menutup kembali pintu mobil dan menghembuskan nafas kasar, dan tiba-tiba... "ide yang bagus," batinku.

Aku mendekatinya diam-diam dan menggelitikinya yang membuat dia kaget dan merasa kegelian, dia tertawa dengan napas yang tidak beraturan yang meminta, "hentikan, hentikan. Haha, aku janji aku tidak membuatmu kesal dan marah lagi."

Kalau kalian melihatnya, dia benar-benar menjadi pria berkeringat karena gelitikan itu, "janji?" tanyaku yang memastikannya dan tetap sambil menggelitikinya.

"Iya-iya janji, haha." Aku memberhentikan gelitikan itu dan baru saja aku ingin berbicara, dia langsung memelukku secara tiba-tiba, "Soul-ah," panggilnya yang membuatku kasian karena sepertinya dia kelelahan karena gelitikan itu.

"Jadilah dirimu sendiri saat bersamaku." Jimin semakin memelukku dengan erat, "aku tidak mau kau merasa malu, aku hanya ingin kau menjadi dirimu. Pergi denganmu apa adanya tanpa rasa khawatir, jangan takut dengan penilaian orang lain. Aku menerimamu apapun keadaanmu, jadi aku tidak peduli apapun penampilanmu."

Demi Bikini Bottom, bagaimana dia bisa membaca pikiranku?

"Aku tau, kau sangat mendengarkan penilaian orang lain hingga kau ingin mengambil topi kan. Aku tidak mau, aku hanya ingin kau menjadi dirimu. Dirimu yang aku cintai sepenuh hati. Dirimu yang selalu kau buat aku jantungan karena hadirmu."

Aku tau, aku juga ingin menjadi diriku. Namun, "bagaimana mereka menilai kita berkencan, mereka aka-"

"Aku tidak peduli kata mereka, kau juga jangan pedulikan kata mereka. Kita adalah pasangan gila bukan? Saling menghina, mengumpat, mengatai satu sama lain, lalu buat apa mendengar mereka." Jimin melepaskan pelukkannya dan menatapku, "mari kita jadikan mereka bahan umpatan kita saja," ajaknya yang kami akhiri dengan tawaan.

-----------------
Mau dengar pendapat kalian dong. Kalian maunya happy ending atau sad ending?😱
Tapi aku udah selesai si buat ceritanya😀

Valuable In LoveWhere stories live. Discover now