10

89 9 0
                                    

Kini, Aku dan Jimin duduk di tepi kolam renang yang sedikit membuatku kedinginan.

"Kau kedinginan?" Jimin memegang tanganku dan mengusapnya, "bagaimana? Sudah hangat?" Mengapa dia sangat romantis!? Rasanya aku merasa serangan jantung mendadak.
Dia menatap mataku dengan tersenyum.

"Tentu, kau selalu membuatku merasa hangat." Aku membalas menatapnya dengan tersenyum manis.

Kami sama-sama menatap satu sama lain, untuk melihat keadaan diri satu sama lain apakah semua berjalan baik atau tidak.

Hingga.

Menyadari bahwa mata kami berdua mulai berkaca-kaca, Jimin menarik napas yang panjang dan mengalihkan pandangannya dariku seraya membuang napasnya dengan perlahan.

Kami tidak tahu harus apa yang kami lakukan, kami bingung dengan situasi yang ada di depan kami. Haruskah aku lari saja dari kenyataan ini? Namun, bagaimana bisa?

"Aku akan menemani Kemotrapi yang akan kau jalani mulai minggu depan."

Ah, betul sekali. Aku hampir lupa bahwa aku harus menghadapi Kemotrapi yang menyakitkan mulai minggu depan.
Apakah aku akan seperti orang-orang pada umumnya? Mungkinkah kesakitan yang kurasakan akan bertambah? Akankah rambutku rontok satu per satu?

Aku takut.

Jimin mengeratkan pegangannya pada tanganku, "kalau kau takut, ingatlah aku ada di sampingmu."

"Aku takut Jim."

"Soul, kau tahu sesuatu?"

Aku menaikkan satu alisku, "apa?"

"Aku juga takut." Dia mendecak untuk menahan tangisnya yang akan pecah, "aku tidak ingin kehilanganmu."

"Tapi, Soul. Aku percaya kau akan menghadapi semua ini bukan? Kau akan menghadapinya bersamaku. Aku akan bersamamu, aku tidak akan meninggalkanmu."

Aku mengangguk, mengangguk mengerti bahwa aku percaya Jimin tidak akan meninggalkanku. Hanya tangisan yang bisa aku beri sebagai respon, aku tidak sanggup menjawab apapun lagi.

"Soul, aku minta maaf." Dia menariku ke dalam pelukannya, mendekapku dengan hangat, "maaf selama ini aku mengabaikanmu, maaf kau harus menderita sendirian, maaf kau harus sakit sendirian."

"Maaf aku baru bisa datang sekarang."

Tidak hanya aku, tangis Jimin yang ia tahan dari tadipun pecah begitu saja. Aku dapat merasakan ia yang menangis seseguk-segukan. Membuatnya tak bisa berkata-kata.

"Aku menyesal." Jimin mengeratkan pelukannya lagi yang membuat semakin tidak ingin meninggalkannya lagi.

"Jangan merasakan penyelasan, Jimin. Kumohon, kau berhak menentukan pilihanmu." Aku tidak ingin dirinya dipenuhi dengan penyesalan. Aku tidak masalah dengan sikapnya yang dulu walau aku sangat tersakiti karena itu.

Namun, aku sangat bersyukur dan berterimakasih pada Semesta karena aku akan ditemani orang yang paling aku cintai untuk di saat-saat akhirku.

Bukankah ini sudah lebih dari cukup? Tentu ini sudah cukup bagiku.

"Bisakah bertahan lebih lama, Soul? Aku janji tidak akan pernah bersikap seperti dulu lagi, aku akan benar-benar menyayangimu dan mencintaimu."

"Tolong jangan tinggalkan aku."

Pertanyaan seraya permintaan, tentu, jika Semesta memberikan aku waktu untuk lebih lama bersamamu Jimin, aku akan mengatakan iya.

Dan masalahnya bukanlah kita, tapi mungkin waktu yang memang telah ditentukan untuk kita.

Aku melepaskan pelukanku darinya dan menatapnya seraya menghapuskan air mata yang ada di pipinya dengan tanganku. "Hei, lihat aku."

Aku dan Jimin bertatap muka, saling melihat ketakutan, kesedihan, kemarahan, yang kami rasakan bersama. "Kau lihat langit itu." Aku menunjuk langit yang biru gelap itu.

"Langit kosong?" tanyanya bingung.

Aku menggelengkan kepalaku yang artinya tidak. "Tidak, Jimin." Aku mengarahkan tanganku ke arah kanan, "kau tidak melihat bintang yang sedang sendirian itu?"

Jimin melihat bintang itu dan bertanya, "ada apa dengannya?"

"Kau lihat?" Dia menganggukan kepalanya yang berarti iya.

"Dan sebentar lagi, aku menjadi salah satu bagian dari bintang itu." Aku menutup mata menciptakan keberanian di dalam diriku, "Jimin,  dengarkan aku."

"Aku takut untuk pergi, aku benci situasi ini. Aku takut Eomma akan kesepian tanpaku. Aku takut menjadi beban untukmu. Aku tidak ingin kau tersakiti hanya karena aku." Aku tersenyum ke arahnya, "Jika, aku akan pergi dengan cepat dan kau merindukanku, carilah bintang yang sedang sendirian. Karena itu aku, yang sedang mengintipmu, haha."

Aku tertawa berusaha menghancurkan suasana yang kubenci ini.

"Ayolah, Jimin. Jika kau sedih karena aku akan pergi, bagaimana dengan aku? Aku akan lebih tersakiti nantinya. Bukankah kau ingin aku bahagia nanti?"

Jimin menundukkan kepalanya, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Mari kita hadapi bersama, Soul."

Tentu, mari kita hadapi bersama.

----------------

Valuable In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang