Kepingan Bobby : 2

13 2 0
                                    


"Bobby.." 

 Dirangkulnya kepalaku dengan lengan besar itu "Kenapa gak bilang dari tadi bocah! Lu kan tau gue paling anti sama lu kalau galau begini. Udahlah ayo cerita-cerita gimana kok lu bisa suka sih?" Hah akhirnya tai itu bisa lalu dari kloset dengan lega. Hampir saja koran Jawa Post menerbitkan headline 

"Seorang Siswa Sekolah XX Mati Karena Dibogem oleh Mantan Pacar Gebetannya" kan bodoh gitu rasanya mati tak berkelas.

"Gini bro kamu tahukan aku sudah lama naksir sama doi. Ya map-maap nih ya mungkin pas kalian lagi pacaran mungkin, aku udah sering chating sama doi dan curhat gitu sama doi."

"Oh ya klarifikasi dulu nih, aku sebenernya emang suka dan sayang sama doi cuman, gak gitu juga kali ya persahabatan kami memang lebih dari itu. Tapi kami LDR-an dan gak sempet bisa dibilang sebagai pacar lah. Kayak kakak-adek zone gitu meskipun sepantaran."

Mampus kakak-adek lah aku kan kakak kelasnya doi jadi sebenernya doi kakak-adekkan sama siapa aja sih aku jadi bingung?

"Oh, ya kalau kamu mau deketin ya gapapa sih, tapi hati-hati aja bro jangan sampai kamu rusak dan hancurin hatinya dia! Hati seorang perempuan itu seperti telur mentah, cangkangnya begitu rapuh seperti hatinya, namun kalau kamu sudah mendapatkan hatinya kamu seperti memegang telur itu dengan tanganmu kalau terlalu kencang cangkang itu bisa pecah dan kalau terlalu lemah bisa saja telur itu jatuh ke-tangan orang lain yang lebih membuatnya nyaman."

Diteruskannya ceritanya dengan mantan-doinya dengan begitu asik, aku hanya dapat melihat bibirnya naik-turun, buka-tutup, naik-turun, dan buka-tutup menyambungkan kata-katanya dengan begitu fasih menceritakan asam garam yang ia lalui dengan manannya ini. Memang yang kutahui doi selalu saja menjadi bahan obrolan di-angkatan kami kelas 11 selain doi pandai meliuk-liukan tubuhnya di atas panggung doi juga mahir sekali menarik perhatian mata para lelaki yang menantikan koreografi dance di sekolah kami.

Beruntung kali bocah ini bisa dekat dengan doi padahal kalau dilihat-lihat dia gak ada bedanya denganku. Wajahnya standard, posturnya gak terlalu atletis lebih ke berisi cuman bukan otot bukan lemak, lengannya standard, paha sampai kaki juga standard, tapi harus aku akui dia adalah seorang gentlemen dengan aura kewibawaanya. Jarang-jarang ada anak kelas 10 yang memiliki aura seperti ini.

Sedangkan aku, tubuh besar, kulit cenderung gelap seperti orang-orang daerah timur sana, rambutku yang ikal sama juga seperti rambutnya, bibirku tebal lagi, badanku kayak seorang deadlifter tapi yang berisi kebanyakan lemaknya yah maklum sudah hampir 2 bulan aku diet tapi godaan selalu datang menjemput hidung dan nafsu makanku. Aku gak ada kelebihan lain selain berat badan ugh! Aku benci sekali keadaanku andai aku jadi dia akan kujaga telur itu seperti aku menjaga uang di bank. Banyak bunganya dan aman ada asuransi dari LPS.

"Bro lu kenapa sih masih minder kayak sebelumnya?" Aku terbelalak mendengar pertanyaanya. Darimana dia tahu! Anak ini bisa baca pikiran pikirku.

"Gak bro, maksudnya lu kan berwibawa gini aku merasa di diriku ini cuman ada tumpukan penderitaan dan sepertinya aku hanya banyak minusnya dibanding dirimu sekarang."

"Eh si bayi besar malah minder, nih dengerin ya aku iri denganmu tahu suara mu bagus, pinter bergaul, friendly, dan tentunya lu spesial Bobby!"

Senyumku keluar entah darimana asalnya dari tadi sembunyi di rak ekspresi dari mana aku tak sadar. Menyambut senyumku suara notifikasi LINE ku berbunyi dengan keras. Kuintip notifikasi itu kulihat nama itu. Nama yang selalu menggetarkan hatiku. Senyumku melebar dan seakan-akan aku mau melompat kegirangan karena hari ini DIA yang MEMULAI OBROLAN!

"Cie yang senyum2 sendiri, selamat nikmatin deh kasmarannya!" –ia menatap hpnya

"Yaudah aku cabut dulu ya papi, mami ntar ngamuk2 lagi dirumah bye sob!" 

Ditentengnya ransel sekolah itu yang seakan-akan mirip tas perang tentara berat penuh dengan senjata dan peralatan perang yang entah apa isinya terlihat begitu berat. Tetapi ia menentengnya dengan begitu mudah seperti tanpa beban hidup. Terpancar begitu jelas dari  raut muka bahagianya. Kemudian ia berpamitan pada barista di cafe itu. Selang beberapa detik  ia menghilang tertiup angin dari luar Cafe itu. Sedangkan aku disambut dengan notif baru dari doi yang sedari tadi tak kusentuh 

Kuputuskan kubuka room chatnya.

Kepingan KenanganWhere stories live. Discover now