06| Haza

387 103 34
                                    

All Time Low • A Daydream Away

___

"Katanya abis band kita latihan lo mau jalan sama Kafka? Kenapa lo malah nyusul gue ke sini?"

Nara yang sudah duduk di hadapan gue akhirnya membuat gue menyuarakan kuriositas yang sedari tadi tertahan pada saat dia menelepon dan menanyakan keberadaan gue.

"Udah kok, tadi kita nonton terus Kafka harus langsung pulang jagain adeknya, orang tuanya lagi pergi juga. Gue bosen kalo langsung pulang. Mama sama Papa lagi kondangan, Mas Naren hari Sabtu gini juga pergi nggak tau ke mana."

Fokus gue terbagi antara tugas yang gue ketik di laptop dan obrolan Nara. "Kafka tau lo ke sini?"

"Tau, 'kan dia yang nganterin gue ke sini."

"Nggak cemburu dia kalo lo keseringan main sama gue kayak mantan lo sebelumnya?"

Nara tertawa mendengar pertanyaan gue. Saat dia hendak menjawab, diinterupsi oleh waitress yang mengantar pesanannya yang langsung dia pesan saat memasuki kafe tadi. Setelah mengucapkan terima kasih, Nara segera menjawab.

"Nggak lah. Kafka bukan orang yang membuat gue harus milih antara dia atau elo.  Dia tau banget lo sahabat gue. Kafka ngerti, gue nggak bisa tiba-tiba menjaga jarak gitu aja dari lo karena sebelum dia, gue lebih dulu kenal lo sejak lama.  Lo temen Kafka juga, 'kan? Harusnya lo juga mengenal dia kayak apa."

Ketika Nara membicarakan Kafka, ada binar di matanya. Her eyes telling me that she's really fond of him. She adores him that much. 

"Ah, masa? Siapa tau dia sebenernya nggak seneng, cuma nggak enak aja mau ngomong sama lo males ribut," kata gue melanjutkan mengetik.

Nara menggeleng. "Asal lo tau, bahkan waktu gue cerita ke Kafka kalo gue pernah suka sama lo, dia malah ketawa."

Jari gue berhenti mengetik detik itu juga. Gue menatap Nara dengan sorot blank.

"Pernah sedih nggak jelas juga gue waktu lo pertama kali punya pacar kelas tiga SMP. Gue aja heran kenapa bisa sampe suka sama lo dulu. Padahal gue yang paling tau busuk-busuknya elo. Tapi bisa-bisanya suka sama lo. Kalo cewek-cewek yang suka sama lo di luar sana tau bobroknya lo gimana, gue jamin ogah juga mereka."

"Lo pernah suka sama gue?"

Otak gue bener-bener blank. Rasanya kayak lo habis diguyur satu ember air dingin di kepala. Gue bahkan sampai nggak tau harus bereaksi kayak gimana.

Nara malah mengerutkan keningnya beberapa saat mendengar pertanyaan gue. Namun dengan cepat ekspresinya kembali normal. "Oh, lo beneran nggak tau? Gue kira waktu itu lo cuma pura-pura nggak peka aja karena nggak mau ngerusak hubungan kita makanya pacaran sama Karina. Sampe kelas sepuluh doang sih gue suka sama lo, soalnya habis gitu gue ketemu terus suka sama Evan si mantan gue yang sebel banget sama lo itu."

Shit, gue beneran goblok banget! Seketika ingatan gue terputar pada saat di mana pertama kali cerita ke Nara akhirnya gue punya pacar dan tanggapan Nara cuma selamat dengan senyum super tipis. Serta ketika gue menceritakan beberapa mantan gue waktu kelas 10, ekspresi Nara juga nggak pernah bersahabat karena gue pikir dia bosen denger cerita gue yang itu-itu aja.

Dengan pikiran gue yang masih kosong, Nara kembali melanjutkan. 

"Tapi sekarang ada Kafka. Bahkan perasaan suka gue ke dia bukan cuma sekadar suka gue ke elo jaman SMP hanya karena melihat transformasi lo yang berubah banget dari bocah ke remaja, terbukti nggak sedikit yang naksir lo. Atau rasa suka ke Evan cuma karena dia perhatian dan manis banget perlakuannya. Tapi Kafka, gue suka dengan pemikiran dia, dengan kerendahatian dan pengertiannya, dengan cara dia menyelesaikan masalah, dan ketika dia menjadi pendengar serta pemberi saran yang baik buat gue. I've fallen for him, Za. Gue nggak tau tepat apa nama perasaan ini, but one thing for sure I want to feel this a bit longer with him."

Penjelasan Nara akhirnya benar-benar kembali menyadarkan gue dari menit-menit kesadaran yang blank. Apalagi ketika Nara menambahkan kalimat yang semakin memperjelas semuanya.

"Jadi, lo nggak perlu merasa terbebani, Za. Perasaan gue yang against the rules sebuah persahabatan bener-bener udah ilang. Karena gue sadar, gue nggak bisa mempertaruhkan persahabatan kita untuk hubungan lebih dari itu. Our friendship is way too precious right?"

Gue sadar bahwa nggak ada lagi kesempatan untuk gue.

Gue tertawa kecil menepuk punggung tangannya pelan. 

"Totally right. We have to keep it that way," ujar gue sembari memperdalam luka yang Nara buat sebelumnya.

___

You're just a daydream away, I wouldn't know what to say if I had you.

And I keep you a daydream away, just watch from a safe place so I'd never have to lose.

___

Unrequited Feelings | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang