"Apalagi yang kau tunggu, cepat sana. Jangan karena kau mereka semua jadi kebingungan mencarimu. Mungkin mereka berpikir kau memang kabur," katanya lagi sambil berjalan meninggalkanku sendiri di ruangan ini. Bagaimana ini?

"Aku tadi mengatakan pada mereka kalau kau pergi ke toilet. Jadi jangan berlama-lama, mana ada orang yang akan mengadakan pertunangan pergi ke toilet begitu lama. Lihat, aku baik kan? Kau saja yang tidak pernah peduli padaku, padahal aku kakakmu."

Walaupun aku kesal dengan kalimat terakhirnya tapi aku cukup berterima kasih padanya karena telah membantuku.

"Terimakasih," gumamku mungkin ia tidak dapat mendengarnya. Tentu, karena aku terlalu gengsi mengatakannya.

"Sama-sama!"

Mataku melotot, jadi Clasie mendengar ucapan terimakasihku? Oh aku lupa, ia memang memiliki pendengaran yang tajam. Bahkan suara lalat yang setengah kilo meter jauhnya, ia dapat mendengarnya.

Ketika aku kembali ke tengah pesta, semua mata memandangku. Aku berdiri gugup, bagaimana pun tadi aku berniat melarikan diri.

"Riana," panggil mamaku yang berdiri di sisi papa. Matanya tajam menatapku. Sedangkan papa cuma tersenyum maklum. Oh papa kau sungguh berbeda dengan mama.

"Maaf," kataku pada akhirnya.

"Tak apa nak, yang penting sekarang kau ada disini. Kita bisa langsung melakukan pertunangan," wanita seumuran mama itu tersenyum hangat padaku, aku membalasnya dengan tatapan rasa bersalah. Apa ia ibu dari pria yang bernama Ralex?ngomong-ngomong pria mana yang akan menjadi tunanganku nanti, di samping wanita ramah itu ada tiga pria muda berwajah tampan dan semuanya terlihat ramah...tunggu, hanya satu pria dari ketiganya yang terlihat enggan memandangku. Memangnya kenapa denganku? Lagian aku tidak mengenalnya. Apa mungkin ia jengkel karena menunggu kedatanganku yang sangat lama? Maaf saja. Lagipula dia tidak akan menjadi tunanganku.

"Ralex!" wanita berwajah ramah itu memanggil pria berwajah datar itu dengan nama Ralex. Apa? Ini serius? Pria itu Ralex? Apa jadinya nanti kalau aku akan menjadi tunangan pria itu. Semoga saja aku salah dengar. Pria datar itu mendekatiku dan sukses membuatku terbelalak.

"Sekarang kita bisa memulai pertunangannya," wanita berwajah ramah tadi bersuara lagi, membuat para tamu bertepuk tangan riuh.

Pria datar itu, maksudku Ralex mengambil sebuah cincin yang disodorkan wanita si berwajah ramah lalu menyematkannya di jari manis ku. Tangannya besar tapi terasa dingin membekukanku. Sekarang giliranku, dengan sangat hati-hati aku menyematkan cincin bertahtakan berlian itu di jari manisnya. Tepuk tangan para tamu mengisi seluruh ruangan. Mereka memang harus memberikanku tepuk tangan karena aku telah berhasil melawan rasa gugup ku untuk menyematkan cincin pada jari pria itu. Bagaimana tidak gugup, pria itu terus saja memandangiku. Seolah tidak ada hari esok, aku tahu aku memang cantik, tapi tidak perlu menatap tajam seperti itu.

Mama tiba-tiba bersuara, "aku tidak tahu harus bagaimana menjabarkan rasa senangku saat ini Arlin, akhirnya kita bisa bersama-sama lagi," ungkap mama dengan rasa senang meluap-luap. Benarkah itu tujuan mama yang sebenarnya? Aku jadi ragu.

Wanita berwajah ramah yang ternyata bernama Arlin itu ikut merasa senang, begitupun keluarga yang lain, mereka saling berjabat tangan lalu tersenyum. Mungkin hanya aku dan pria pendiam itu saja yang tidak heboh. Padahal ini pesta pertunangan kami berdua.

Setelah mengadakan pertukaran cincin, para tamu bisa bebas. Ada yang menikmati makanan serta minum, ada juga yang berdansa atau bercakap-cakap dengan teman atau kerabatnya. Seperti mama, ia terlihat santai berbincang dengan Arlin si wanita ramah. Mereka duduk di kursi, dimana mama menyilang kakinya seperti nyonya-nyonya kaya. Ya mama memang kaya.

Aku berdiri dengan kaku sedangkan Ralex sudah pergi entah kemana bersama dengan saudaranya. Ternyata seperti ini rasanya setelah bertunangan. Kukira akan semengerikan apa, untunglah aku tidak jadi kabur. Kalau sampai aku kabur, yakinlah para pemburu berita akan menyangkan wajahku dimana-mana.

Ah jangan lupakan kakak laki-lakiku yang bahkan tidak hadir di pertunangan adiknya sendiri. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Katanya, ia akan datang di hari pernikahanku nanti. Yang benar saja, aku bahkan tidak yakin akan menikah dengan pria datar itu.

Ketiga sahabatku dan juga Elin teman dekatku datang mendekatiku.

"Akhirnya sahabatku tidak jomblo lagi." Tiani memelukku sangat erat membuatku sesak nafas.

"Selamat atas pertunanganmu Riana," ucap Elin temanku. Ya hanya teman, dia bukan sahabatku. Karena kami tidak sedekat itu.

Kedua sahabatku yang lain memelukku tapi tidak seerat Tiani.

"Ngomong-ngomong tunanganmu tampan juga," ujar Misya yang mendapat tumpukan dari Sarly.

Riana & RalexWhere stories live. Discover now