CHAPTER 24

4.8K 498 48
                                    

Aku terkejut pemirsah. Work from home ternyata di perpanjang sampai tanggal 13 Mei, Ya Tuhan... Perjalanan di rumah masih panjang. Tapi bisa apa, aku ada di rumah untuk menyelamatkan negara, menyelamatkan Indonesia, walaupun aku hanya bisa rebahan. Tapi rebahan kali ini sungguh berguna, dari pada keluyuran dan berkerumun, dan di beberapa tempat di  Banten, sudah PSBB. Bagaimana dengan tempat Anda pembaca setiaku?

Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani virus ini aku dukung penuh, dan berharap wabah ini segera berlalu. Aamiin.

Chapter ini aku kasih yang manis-manis dulu ya... Mungpung tadi buka puasa makan kolek manis aku-nya. Tapi aku kasih pemanis buatan plus aja ya... Manis banget, tapi bikin sakit hati pembaca setiaku. Hehehe...

Masih chapter Reygan. Entah sampai chapter berapa nih aku aku masih betah sama Reygan ini? tunggulah, nanti ada chapter Kanaya juga kok, eh bukan ada, tapi chapter Kanaya kan udah ya? Hahahaha...

Jangan minta double update ya... Hayati lelah, abis kuli tadi, seharian rebahan terus membuat kepala Hayati pusing 7 keliling, mana berbintang-bintang, Hayati kira lagi jatuh cinta eh ternyata, Hayati lapar pemirsah. Hehehe...

Udah ah. Happy reading pemirsah... Jangan lupa tinggalkan jejak vote ya... Kisss....

****

REYGAN

Pengajian 40 harinya Amara baru saja selesai selepas Isya tadi, dan tamu-tamu baru saja pulang, meninggalkan para pekerja yang sedang membereskan barang-barang yang baru saja terpakai.

Dan kedua orang tua kami berikut saudara-saudaraku baru saja pulang. Saat Kanaya datang menghampiriku yang sedang membantu Pak Asep menggeser kursi di ruang tamu rumah kami.

"Rey, aku ingin bicara,"

Aku menyelesaikan pekerjaanku dulu, setelahnya menatap Kanaya, dan menganggukan kepalaku, dan mengajak Kanaya masuk ke ruang kerjaku.

Setelah mencuci tangan, dan mengelap keringat di kamar mandi ruang kerjaku, aku duduk di sopa di depan sopa yang di duduki Kanaya.

"Mau bicara apa?" tanyaku setelah meraih tissu di meja, dan mengelap wajahku yang basah, juga tanganku.

Kanaya mengangsurkan map coklat kehadapanku, "apa ini?" tanyaku sambil mengambil map yang Kanaya letakan diatas meja, dan mulai membukanya.

Mataku membulat sempurna, saat membaca apa yang ada didalam map tersebut.

GUGATAN PERCERAIAN.

"Apa ini?" teriakku, "apa-apaan Nay? Sudah berapa kali aku bilang, kalau aku tidak akan pernah menceraikanmu sampai kapan pun," sambungku.

Kanaya menatapku datar, "tapi aku ingin kita bercerai Rey, sama seperti kamu, aku juga ingin hidup bahagia dengan pasanganku nanti,"

Aku mendengus, sambil berdiri dari duduknya, menghampiri Kanaya, "kamu membenciku karena perbuatanku Nay, karena aku pernah menolakmu, hingga saat aku ingin berubah kamu tidak mempercayai aku?" tanyaku sambil memegang bahu Kanaya.

Kanaya menggelengkan kepala, "semua orang bisa berubah Rey, begitu juga dengan aku,"

"Tapi kita baru kehilangan anak kita Nay, kita masih harus saling menguatkan satu sama lain," bisikku.

"Anakku Rey, takut kamu lupa pernah menolak Amara ada di dalam hidup kamu," kata-kata Kanaya kembali mengingatkanku akan ketololanku yang tidak mau mengakui darah dagingku itu, dan kata-kata itu juga seolah menghantamku dengan kenyataan.

Ya Tuhan, betapa banyak dosa dan kesalahan yang pernah aku lakukan kepada anak dan istriku.

Kanaya, melepaskan cekalan tanganku dibahunya, berdiri dari duduknya, dan sebelum Kanaya membuka pintu, Kanaya berbalik menatapku, "aku sudah tanda tangani berkas penceraian itu, dan bila kamu sudah selesai menandatanganinya, kamu bisa serahkan kepada pengacaraku," jelas Kanaya.

"Nay, makam Amara aja masih basah, kamu tega meminta cerai saat kita masih berkabung karena kehilangan Amara?" tanyaku.

Kanaya hanya tersenyum pahit, "sudah 40 hari Amara berpulang Rey, dan aku sudah melewati masa nifas, kamu sudah boleh mendaftarkan gugatan cerai kamu," jawab Kanaya enteng

"Tapi Nay, aku tidak akan pernah menceraikanmu."

"Kenapa Rey? Selama ini kamu yang begitu vocal mau menceraikan aku saat bayi yang aku kandung lahir, kenapa sekarang kamu berubah?" tanya Kanaya, membalikan tubuhnya kembali menghadapku, dan terlihat ada airmata dimatanya yang tampak memerah.

"Aku ingin kita bersama-sama melewati ini Nay..."

"Tapi aku tidak Rey." Potong Kanaya.

"Nay... sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu,"

"Terserah," jawab Kanaya, sambil berusaha membuka pintu ruang kerjaku.

Kalap akan ketakutan, aku berderap melangkah dengan tergesa, menghampiri Kanaya.

Menggapai tubuhnya kedalam pelukanku, dan setelahnya aku tatap wajahnya yang tampak kelelahan, juga kesedihan karena sama-sama kehilangan anak, pelan aku menarik tangan dan langsung membuat tubuh Kanaya berada dalam pelukanku, aku himpit tubuhnya dengan tubuhku dan belakangnya dengan pintu yang akhirnya tertutup rapat.

"Rey..."

Aku cium bibir basah itu sebelum Kanaya melanjutkan ucapannya, rasa lapar langsung menyergapku. Saat tanpa keraguan Kanaya membalas ciumanku. Saat aku menyentuhnya, tubuh Kanaya gemetar, bukan karena rasa takut ataupun penolakan, namun oleh rasa nikmat yang Kanaya rasakan.

Gelombang hasrat menyentakku. Begitu cepatnya haluan menyerbu. Bagaikan sebuah sungai berubah arus, arusnya yang deras membuat diriku tertarik dalam putaran air yang bergolak. Jari-jariku bergetar terasa hangat menyentuh kulit Kanaya. Seolah itu akan berlangsung selamanya.

Kanaya memberontak ingin melepaskan diri, tapi tidak ijinkan.

Ciuman ini begitu memabukan.

Saling melumat dengan intensitas yang terus meningkat, hingga kami saling mengerang menginginkan lebih.

Suara langkah kaki, menyadarkan kami dari hipnotis yang memikat itu, kami saling melepaskan diri, merapihkan diri kami masing-masing dan menenangkan debar jantung kami.

Tidak lama, terdengar pintu ruang kerja diketuk dari luar, "Mas Reygan." Ternyata Bu Santy.

"Ya Bu," kataku sambil membuka pintu, setelah memastikan penampilan Kanaya rapih seperti sebelumnya.

"Ada tamu yang mencari Mas Reygan..."

"Siapa Bu?" heran, karena sangat jarang ada orang yang datang ke rumah untuk mencariku, biasanya orang-orang yang mengenalku akan mencariku ke kantor, daripada datang ke rumah, karena kemungkinan besar aku memang akan berada di kantor.

"Wanita Mas, ngakunya namanya Mbak Renata,"

Mendengar jawaban Bu Santy yang menyebut nama Renata, tampak Kanaya, mendengus sebal, dan pergi berlalu memasuki kamar yang ditempatinya saat ini.

"Kasih minum Bu. Dan suruh dia menunggu, saya masih ada urusan dengan Kanaya," kataku sambil sesegera mungkin menyusul Kanaya yang masuk ke kamarnya.

Tapi terlambat, karena pintu kamar Kanaya sudah tertutup dan terkunci dari dalam, meninggalkan aku dengan tampang bego.

Ya Tuhan.

****

Serang, 20 April 2020

SECOND CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang