Kana (Marsmellow dan Pantai Malam Hari)

Start from the beginning
                                    

Aku agak tidak setuju dengan gagasan Rana. Bagaimana pun juga, niat kedua sepupuku itu sudah tertebak bahkan dari cengiran dan tingkah mereka yang nakal dan jahil. Mereka datang untuk bersenang-senang dan mengganggu kedamaianku. Sama seperti Kelvin dalam mode menyebalkan.

"Gue setuju sama Rana. Kita semua yang ada di sini sayang sama lo, Na. Lo orang yang menyenangkan buat dideketin dan bikin orang-orang jadi nyaman ada di deket lo. Sadar ngga lo?" Kali ini Lean ikut setuju. Ia menyuapkan keripik kentangnya ke mulutku. Aku memakannya sambil berpikir.

"Apa aku semenyenangkan itu?" Gumamku pelan dan berpikir sendiri. Selama ini yang kurasakan adalah rasa senang karena orang-orang mau menerima kehadiranku dan mau untuk diajak bersenang-senang bersamaku. Rasa bahagia karena memiliki teman yang menyenangkan. Aku selalu mengira bahwa akulah yang nyaman di dekat mereka, bukan sebaliknya.

"Ngga papa Na kalo lo ngga sadar. Orang yang aslinya menyenangkan itu emang kadang ngga sadar bahwa sumbernya malah dateng dari dia sendiri." Ujar Rana. Ada nada prihatin dalam suaranya. Dia mau menenangkan atau mengejek sih?

Lean tertawa dan aku berdecih pelan.

"Mending keluar yuk! Kayaknya pemanggangnya udah siap. Waktunya makan, girls..." Lean membuka tenda dan keluar. Aku mengikuti di belakangnya dan membawa gitarku. Rana mengambil kamera Lean dan ikut keluar tenda juga.

Angin malam yang dingin berhembus. Udara sejuk dan langit terlihat indah dengan bulan sabit dan taburan bintang. Deburan ombak halus yang mengais pantai menjadi pengantar malam yang cerah dan menenangkan. Suasananya tidak terlalu gelap karena kami membawa lampu darurat yang ditaruh di dekat tempat-tempat yang butuh pencahayaan lebih.

Aku menghampiri Kelvin yang sedang memotong sosis dan daging sapi tipis-tipis. Lean sudah bertengger manis memperhatikan Kelvin terang-terangan. Ya, semua orang sudah tahu bahwa Lean menyukai Kelvin dan menurutku itu bagus. Karena Lean itu manis dan lucu, ceria, menyenangkan, selera humornya juga bagus. Cocok dengan Kelvin yang agak cool, tapi itu cuma dibuat-buat. Intinya mereka serasi. Lagipula Lean itu memenuhi kriteria cewek idaman Kelvin, yaitu yang karakternya hampir sama sepertiku. Itu Lean sekali.

Kulihat Kak Babay dan Kak Yoyon sibuk mengutak-atik jeruji pemanggang dan berebut mengipasi bara arang. Memang ya, dimana-mana mereka memang tidak akur. Pak Arwin dan Guntur sedang menumpuk kayu bakar untuk api unggun dan pesta marsmellow nanti.

Rana asik mengambil gambar dalam mode gelap dan sibuk bersungut-sungut karena tidak mendapat angle yang bagus. Sedangkan aku sendiri sedang sibuk ngemil permen coklat yang tergeletak manis di dekat bahan-bahan sayuran.

"Ana, jangan makan coklat malam-malam. Tadi sore udah banyak makan itu." Kelvin merebut bersamaan bungkusnya. Aku mendengus sebal. Kukira dia sibuk memotong sampai tidak memperhatikan kerjaanku. Akhirnya aku hanya menunggu dengan bosan sambil memainkan gitar yang sebelumnya aku cueki dan sesekali mengajari Rana memotret dengan sudut pandang yang sesuai.

***

Kami sudah selesai memanggang daging sapi dan sosis. Makan malam dan menu utama disajikan dengan rasa yang enak. Kalau Kelvin yang masak, maka semuanya akan jadi enak. Malam ini juga berjalan menyenangkan, beberapa kali aku menyambut request lagu teman-temanku lalu duet dengan Kak Yoyon atau Kelvin. Sesekali diiringi pertengkaran tidak penting Rana dan Guntur, sisanya, kami bersenang-senang. Aku bersyukur kedua sepupuku tidak banyak tingkah atau mengusiliku.

"Main TOD yuk!" Usul Lean bersemangat. Kami sudah berpindah mengerumuni api unggun dengan marsmellow bakar di tangan.

"Boleh juga tuh. Pake apa nih nandain gilirannya?" Kak Yoyon ikut berseru seperti tidak ingat umur. Astaga manusia itu benar-benar berdarah muda sekali. Padahal dia sudah om-om berusia 25 tahun.

"Mending gini aja, kita nyanyi lagu pendek terus estafet senter ini sampe lagunya selesai. Nah yang megang senter terakhir, dia yang dapet giliran. Gimana?" Usulku sambil memegang senter hijau milik Kelvin. Mereka semua setuju. Kami mulai bermain minus Pak Arwin yang minta untuk diberi tugas dokumentasi saja.

"Oke. Lagu pertama 'Balonku'. Satu, dua tiga!"

Kami bernyanyi sambil mengoper dalam lingkaran yang kami bentuk. Semakin mendekati akhir lagu, senter itu semakin cepat dioper seolah karena khawatir mendapat giliran. Lean berteriak girang ketika senter itu tidak jadi mendarat di pangkuannya. Kami semua tertawa dan yang mendapat giliran adalah Rana.

"Oke, Ran. Truth or Dare?" Tanyaku.

"Hmm, truth aja deh."

"Gue. Gue aja yang nanya!" Lean berseru dan semua mengangguk.

"Lo milih Kak Hikam anak 11 IPS 3, atau Guntur?" Sontak aku dan Kelvin tertawa heboh.

"Kok pertanyaanya gitu sih? Mana bisa buat perbandingan mereka berdua. Sama-sama nggak berkualitas!" Sahut Rana tidak terima. Jelas saja ia tidak terima. Yang dimaksud Kak Hikam anak kelas 11 IPS 3 sekolah kami itu adalah cowok yang pernah menembak Rana dengan bunga mawar. Tapi sayangnya Rana tidak menyukai kakak kelas itu karena Kak Hikam itu agak cupu, cengeng, dan maaf... sedikit jorok. Berbanding terbalik dengan prinsip Rana yang menjunjung tinggi intelegenitas, keberanian, dan yang paling penting kebersihan.

"Ya salah lo milih truth. Udah buruan pilih. Mending Kak Hikam apa Guntur?" Lean mendesak. Kulirik Rana yang mengerutkan keningnya sebal lalu aku menatap Guntur yang sepertinya tidak keberatan dengan pertanyaan itu, cenderung penasaran sepertinya.

"Huuh. Sini gue bisikin!" Rana bernegosiasi lagi.

"Harus bilang di depan semua orang dong!" Protes Kak Babay.

"Ya deh ya deh. Mending Guntur." Rana menjawab dengan nada tidak terima. Semua yang ada di kumpulan lingkaran ini tertawa dan mulai meledek Rana.

"Udah lanjut. Ngga penting banget sih pertanyaannya. Lanjut nih!" Rana sudah benar-benar kesal dan mungkin sebentar lagi akan ngambek.

"Udah lanjut yuk. Kasian Rana, udah enek sama ketawa kalian." Kelvin membantu menengahi. Kami pun melanjutkan permainan. Kali ini lagu "Naik ke Puncak Gunung" dan senternya terakhir berada di pangkuanku. Dilempar paksa oleh Kelvin yang sudah tersenyum devil.

"Truth or Dare?"

Aku berpikir sebentar. Jika Kelvin yang akan melakukan apa pun yang akan kupilih nanti, dia sudah hampir tidak punya pertanyaan untukku. Jadi demi membuat giliranku mendapat tantangan besar, aku memilih...

"Dare!" Ujarku tegas.

Kelvin semakin menyeringai dan sekarang aku merasa kalah entah karena apa. Mungkin karena perintah Kelvin selanjutnya.

"Kalo gitu, aku tantang kamu buat manggil aku 'Kak Kelvin'!" Kelvin sudah tersenyum lebar.

Dia mengerikan karena memintaku untuk melanggar janji yang kubuat bersama diriku sendiri.

Aku bungkam. Ternyata keputusanku salah.

***

Tunggu part 2-nya yaa...

It's Only 5 Minutes Appart (End)Where stories live. Discover now