BAGIAN 8

62 6 0
                                    

"Terlalu indah diawal, sehingga ketika disakiti
aku benar-benar terluka."

—Mauri Primadanti

***

Hujan telah turun dan mendarat di tanah indah yang kini dipijak Mauri. Gadis itu menangis tanpa terisak di sepanjang perjalanan pulangnya, iya, dia menolak ajakan Genus untuk pulang bersama setelah penjelasan Genus yang membuatnya terkejut.

Mauri sakit, Mauri terluka. Ini kisah cinta pertamanya, tapi mengapa berakhir menyakitkan di saat dia mulai mencintai Eldra semakin dalam. Ini waktu yang begitu singkat untuk Mauri dan Eldra mengakhiri hubungannya. Lagipula apa maksud Eldra menjadikannya kekasih jika dia sudah mencintai perempuan lain yang lebih layak daripadanya.

"Eldra bangsat!" Mauri mengumpat selaras dengan suara hujan yang makin deras turun.

Mauri juga takut untuk pulang dengan kondisi berantakan seperti ini. Apa kata abangnya melihat Mauri demikian, bisa saja Lucky membunuh Eldra saat itu juga jika tahu bahwa adiknya disakiti secara terang-terangan.

Terlambat, iya. Meski Mauri menyesali semua yang sudah terjadi itu tidak akan membuat luka di hatinya sembuh begitu saja. Terlalu singkat waktu untuk mereka menyatu maka singkat juga kebersamaan yang bisa mereka ciptakan.

Andai Mauri bisa memutar waktu, dia bersumpah untuk tidak membalas pesan Eldra. Jika begitu, mungkin hari ini dia akan tetap menjadi Mauri yang sibuk belajar tanpa sibuk memikirkan kisah cinta yang brengsek ini.

Tidak, ini terlalu lebay, Mauri terduduk lemas begitu saja dan tersedu-sedu saat mengingat wajah Eldra yang seolah tidak terjadi apa-apa dan tertawa lepas dengan Mitha. Mauri benar-benar sakit, dadanya sesak, tubuhnya mulai menggigil hingga beberapa detik kemudian air hujan itu tidak mengenai tubuhnya bukan karena hujan berhenti, tetapi ada payung yang tiba-tiba melindunginya.

"Terkadang kita harus mengikhlaskan apa yang menurut kita baik," ucap seseorang di samping Mauri yang telah melindunginya dari deras air hujan.

Mauri mendongak dan mulai terisak. "Genus," lirihnya yang membuat Genus mengulas senyum dan berjongkok.

"Apalagi hal yang sudah jelas salah dimata kita, untuk apa dipertahankan karena itu malah akan menyakitkan!" sambung Genus bersama seulas senyum selaras dengan sebelah tangannya yang menyeka air mata Mauri.

Mauri geming sembari menatap lamat Genus begitu pula sebaliknya. Dia tidak tahu, mengapa selalu ada Genus di setiap tangisnya karena Eldra? Hal ini benar-benar menjadi tanda tanya besar untuk Mauri.

"Pulang Mauri! Ada rumah yang menunggu lo untuk bercerita." Genus makin tersenyum membuat air mata Mauri makin luruh.

"Kenapa lo ada di sini?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar membuat senyum Genus perlahan pudar.

"Seandainya lo tahu, ada orang yang lebih tulus dari Eldra!" batin Genus yang makin bungkam di depan mata Mauri.

"Kenapa selalu ada lo di setiap tangis yang Eldra kasih untuk gue?" Lagi, Mauri bertanya yang mana suaranya saling bertabrakan dengan suara hujan.

Genus tetap bungkam, ia terlalu naif untuk mengakui. "Karena gue tahu semua tentang dia!" Hanya itu jawabannya.

"Tapi, lo teman Eldra. Seharusnya lo menutupi aibnya!" jawab Mauri sembari bangkit membuat Genus ikut bangkit dan payung itu tetap melindungi keduanya.

Sesal! Where stories live. Discover now