BAGIAN 7

55 4 0
                                    

"Terlalu mencintai malah akan tersakiti."

-Mauri Primadanti.

***

Setelah pembelajaran usai tidak ada yang terjadi selain Rara dan Viola yang kebingungan melihat Mauri. Pasalnya anak itu hanya diam sembari menopang kepala dengan raut sulit dijelaskan.

"Sekarang apa yang mau lo lakuin sama El?" tanya Rara pelan.

Mauri tersentak dan menatap keduanya secara bergantian. "Apa yang harus dipertahankan, jika dia sendiri berbuat seolah kita bukanlah yang dia mau!" kata Mauri tersenyum gamang bersama derai yang bersiap luruh.

Keduanya tersentak akan jawaban Mauri terutama Viola. Senyuman Mauri sangat menyakitkan bagi mereka, benar-benar senyuman palsu terlebih saat dengan tidak sengajanya mereka mendengar percakapan antara Eldra dan Mitha di depan kelas.

"Lo udah putus?" tanya Viola hati-hati.

Di ujung kelas ada Genus yang diam-diam mendengarkan sembari pura-pura membaca buku. Dari ujung matanya dia melihat raut putus asa dan gelengan lemah Mauri.

"Tunggu sepulang sekolah nanti, Vi." Mauri langsung memalingkan wajah dan pura-pura tidak mendengar percakapan itu yang tentu membuatnya sakit hati.

Di tempat Eldra berdiri bersama Mitha, diam-diam dia melirik ke arah Mauri yang hanya terlihat pucuk kepalanya saja. Sedikitnya Eldra ada rasa bersalah meski pada dasarnya dia tetap tidak peduli dan terus bersama Mitha.

"Lo terlalu naif karena menerima Eldra, Ri," ucap dia yang merasa iba akan Mauri.

***

Sekali sudah mengingkari janji maka seterusnya dia akan melakukan hal yang sama. Rasanya kaki Mauri sudah mati karena terlalu lama berdiri menunggu kedatangan Eldra yang dia nantikan sejak pulang sekolah hingga kini sore yang nyaris habis.

Mauri sendiri, Rara dan Viola dimintanya untuk pulang meski keduanya bersikukuh ingin menemani.

"El, kamu gak akan pernah tahu tulusnya aku meski kita hanya mengenal dalam waktu singkat," gumam Mauri sembari memeluk dirinya sendiri yang mulai kedinginan.

Di depan ruang club basket yang sudah sepi Mauri menunggu, bersama semilir angin yang berhembus. Matanya sayu, dan hatinya mulai layu. Kaki jenjangnya yang indah kini meliuk-liuk dimainkan hanya untuk menyingkirkan rasa suntuk.

Setega itukah Eldra sampai tidak datang menemuinya demi memastikan apa yang akhirnya terjadi pada hubungan mereka meski sudah dapat Mauri tebak yaitu perpisahan.

"Sampai pagi lagi lo nunggu, Eldra gak akan pernah datang!" ucap seseorang secara tiba-tiba di samping Mauri membuat Mauri terkejut dan menoleh.

"Genus?!"

Genus menatap Mauri datar. "Gue ketiduran di sana," jelasnya sembari menunjuk ruang club basket.

Mauri menggeleng tak habis pikir sembari membuang napas kasar. "Bisa-bisanya!"

"Bisalah! Lo aja bisa nunggu Eldra nyaris empat jam di sini," sergah Genus yang membuat Mauri menatapnya dingin.

Genus sama sekali tidak ciut dengan tatapan Mauri, dia justru merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel yang sudah menyala dan menunjukkan satu chat dari nomor Eldra.

Eldra
Hari ini gue gak latihan
karena mau jalan-jalan.

Miris, setelah membaca pesan tersebut mata Mauri tiba-tiba perih, hingga tak terasa air matanya luruh membuat Genus mengembuskan napas panjang.

"Lo ngertikan kenapa Eldra bohong? Gak ngasih kabar lagi ke lo dan tiba-tiba nunjukin kebersamaan sama cewek lain di saat lo masih berstatus pacarnya!" tutur Genus sembari membenarkan tasnya di saat Mauri justru bungkam dan terus menyeka air mata.

Genus melirik. "Sekarang gua juga tahu alasan kenapa Kei sama Lavia terus gangguin lo waktu itu..." Genus menjeda ucapannya membuat Mauri menoleh meminta pernyataan selanjutnya.

"Karena mereka udah tahu sikap Eldra yang selalu ganti-ganti cewek di luar sekolah. Mereka gak mau lo jadi korban selanjutnya, tapi Eldra punya wewenang buat mereka berhenti ganggu lo!" sambung Genus yang sontak membuat Mauri menggeleng miris.

"Kenapa lo gak kasih tahu gue? Kenapa baru sekarang di saat gue udah terluka?!" cerca Mauri yang membuat Genus menatapnya dalam.

"Karena gue gak mau ngerusak kebahagiaan yang terukir indah di wajah lo!" jawab Genus dengan nada yang memiliki arti.

"Apa yang masih lo tunggu? Semua udah berakhir, Ri!" terang Genus.

"Pantang buat gue mengakhiri kalau bukan gue yang memulai!" ujar Mauri membuat Genus tercengang.

"Maksud lo?"

"Eldra yang memulai, Eldra juga yang harus mengakhiri!"

***

To be continue


Sesal! Where stories live. Discover now