Chapter 8

6.9K 446 7
                                    

Aku merasa kalau aku memang tengah menghadapi mautku saat ini. Bagaimana bisa dnegan mudahnya aku menurut pada apa yang diinginkan sang iblis di depanku. Dia membuat aku berlaku dengan cara buru. Dan hebatnya adalah si iblis tidak sedikitpun gentar dengan apa yang dirinya lakukan malah aku di sini yang bagaikan orang kehilangan sayapnya. Aku rasanya ingin menyumpah saja. Kalau aku bisa.

"Kau siap?" tanyanya dengan enteng.

"Ini gila, Devan. Bisakah kita mengurungkannya. Setelah kupikir-pikir, aku tidak terlalu ingin pergi ke sana. Kau tahu... mungkin Devak memang benar."

Si iblis terkekeh dengan menjengkelkan. Aku hanya bisa menatap dia dalam kesal di dada. Tanpa suara dia mengejekku. Membuat aku tidak bisa memandang sebelah mata pada ejekan itu. Dia lebih menyebalkan dari sepupunya.

"Kalau takut harusnya kau katakan, kita tentu saja bisa menyudahi semua ini bahkan sebelum kita memulainya. Kau ini..."

"Aku tidak takut," kataku keras kepala. Tersulut amarah yang seharusnya tidak perlu.

"Benarkah?"

Dia berjalan lebih dekat denganku. Menghadap padaku seakan dia melihat bagaimana hewan peliharaannya menyalak padanya. Tidak terlihat tertarik namun netranya mengatakan sebaliknya. Aku menarik dengan cara yang buruk. Itu membuat aku tidak bisa bahkan sekedar membalas dengan cara yang sama.

Masalahnya tidak ada cacat cela dalam dirinya. Dalam diri semua iblis yang ada di sini, mungkin mereka memang tidak berwujud nyata dan semua yang aku lihat hanya sebuah kamuflase saja. Hanya saja aku heran, kenapa mereka semua memiliki kamuflase yang sangat menarik dalam pengambilannya. Mereka seolah telah mengamati mahluk lain beribu-ribu tahun lamanya hingga mereka bisa membedakan mana penyamaran yang tepat untuk mereka. Aku kehilangan seleraku pada tampilanku sendiri.

"Kau takut, aku bisa menghirupnya dari sini."

Aku berdecih dengan kalimatnya. Dia tampak terkejut dengan respon yang aku berikan. Dia tidak mengharapkan penolakan keras kepala pada argumen yang dia nyatakan. Sayangnya dia mendapatkannya dariku, aku tidak akan pernah mengakui hal yang tidak ingin aku akui. Takut? Tidak akan.

"Itu bukan sebuah ketakutan Devan."

"Lalu?"

"Adrenalin."

Aku menyeringai. Di luar dugaan dia juga menyeringai.

"Sangat hebat. Membuat ketakutanmu tidak terlihat seperti ketakukan, kupikir hanya vampir murni yang bisa melakukannya. Atau hanya seorang Kendiz Violet saja. Yang mana saja, kau membuat aku semakin tertarik pada esensi keberadaanmu."

Aku mengerut dengan kalimat yang dia gunakan. Tapi tidak mengambil peduli. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan ketimbang kalimat membosankan dari diri seorang Sragel Devantara. Di mana setiap kalimatnya lebih banyak mengandung sampah tidak bermakna.

"Sekarang kau ingin tetap di sini atau enyah. Aku sudah akan memulainya."

Dia tampak mundur selangkah. Terkejut dengan apa yang aku katakan di mana pastinya dia melebihkan semuanya. Dasar aktor tidak dapat peran.

"Kau sungguh membuat aku terkejut dengan apa yang kau utarakan, Kendiz. Meminta pria sepertiku enyah dari hadapanmu dan bukannya meminta aku selalu ada di sisimu." Dia memegang dadanya dengan wajah berlebih-lebihannya yang buruk.

Aku hanya memutar bola mataku saja. Dan tidak menanggapi kalimatnya, jika ku balas dia maka percakapan kami tidak akan pernah selesai sama sekali. Dia dan aku jika sudah melibatkan adu mulut, tidak akan ada yang menang dan kalah. Kami selalu sama-sama keras dengan argumen kami masing-masing.

Akhirnya dia mengerti dan undur diri. Mencari tempat sejauh mata memandang agar Devak tidak menyadari hadirnya di tempat ini dan besar kemungkinan akan merusak rencana kami jika sampai hal itu terjadi.

Aku memandang ke langit. Menghirup udara dengan rakus untuk meyakinkan diri kalau ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Devak tidak bisa mengaturku begitu saja saat dia sendiri tidak menginginkan cintaku. Dia tidak bisa membuat aku menjadi gadis penurutnya. Aku akan berontak dan ini adalah cara pertamanya yang tentu saja tidak pernah dia dugakan sama sekali.

Aku mengambil gelas kaca yang ada ada di meja kamarku. Menatap ketajamanannya dengan siluet ngeri. Dulu aku sangat menghindari diriku terluka, karena aku tahu apa yang akan terjadi jika sampai satu tetes darahku tertumpah ke bumi. Tapi kali ini tidak. Malah aku akan dengan sengaja membuat diriku terluka dan mengundang mahluk-mahluk itu datang ke tempat ini. Tentu saja untuk membuat Devak sibuk mengurusnya.

Rencana sempurna ini tentu saja hanya bisa dipikirkan oleh satu orang dan orang itu adalah Devan. Bajingan itu sangat pandai dalam berpikir.

Aku memukul gelas itu ke meja dan menutup mataku saat aku menggores telapak tanganku sendiri. Darah segar keluar dari sana. Aku terkesiap melihatnya, tampaknya aku menggores lebih dalam dari yang seharusnya. Membuat aku terjatuh ke lantai dengan darah di pelupuk mataku. Menunggu hadirnya sosok itu di tempat ini.

Tidak menunggu lama saat pintu kamarku terbuka dan mata merahnya mencariku. Dia menemukanku dalam satu detik cepatnya. Melesat seperti angin, dia berlutut di depanku.

"Apa yang kau lakukan?"

Matanya tidak tenang. Melihat pada lukaku seakan aku akan mati karenanya tapi karena memang lebih buruk dari kematian. Jika banyak yang mencium aroma darahku maka akan lebih banyak orang yang mengincarnya. Lebih banyak yang akan membuat Devak kehilangan aku. Darahku lebih tepatnya.

"Maaf, aku tidak sengaja." Aku memberikan dia tatapan sedihku.

"Gideon!"

Suara langkah cepat datang. "Ya, Pangeran?"

"Jaga dia."

Gideon menatapku segera menggantikan tangan Devak dalam menutup lukaku dan Devak telah menghilang dari pandanganku. Aku menatap kepergiannya dengan senyuman menang dan melihat pada Gideon yang hanya menghela nafasnya dengan wajah pucat. Ah dia pasti ketakutan karena dia ikut dalam rencana kami.

Berhasil bukan?

***

Sleep With The Devil ✓ TAMATWhere stories live. Discover now