🍸 1. Cinta Sendiri 🍸

Mulai dari awal
                                    

Yasmin melangkah meninggalkan tempat pernikahan itu secepat mungkin sebelum seseorang tahu dan mengurungkan niatnya untuk pergi. Hari ulang tahunnya yang ke 18 akan menjadi hari yang tidak akan pernah dia lupakan. Hari bersejarah yang telah menorehkan luka mendalam.

Yasmin bersimpuh mengadukan segala kesakitan kepada Rabb-nya. Menundukkan wajah dalam sujud panjang, memohon ampunan atas segala khilaf hingga terjadi perasaan yang di luar kehendaknya.

Air mata Yasmin bercucuran dalam doa. Napasnya tersengal karena emosi yang sedikit di luar kendali. Hanya di atas sajadahlah Yasmin bisa bebas mengadu tentang semua keluh kesahnya.

***

Selesai dengan kewajibannya, Yasmin keluar dari masjid dan berjalan ke arah taman. Dekat dengan kediaman bapaknya di mana dia dibesarkan. Berdiri di tempat itu, dia bisa melihat keseluruhan bangunan pesantren.

Pandangannya dimulai dari pintu gerbang lalu masuk sepanjang 50 meter di mana ada bangunan di sebelah kanan yang merupakan gedung serbaguna tempat pernikahan Mikail diadakan. Sebelah kiri adalah tempat parkir luas beserta toserba yang di kelola pengurus pesantren. Ada juga masjid tepat di tengah lahan beserta sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Pandangan Yasmin bergerak mengamati pohon palem yang banyak terdapat di sana, mengisi beberapa titik selain flamboyan di setiap sudut. Rumpun melati turut memperindah taman dengan harum yang menguar di udara kala berbunga.

Ya Allah, aku tidak ingin mempermalukan orang tua, tetapi hatiku memang sudah telah berlabuh di dermaga yang salah. Tidak akan baik untukku terus mempertahankan rasa sepihak ini. Terus berpegang pada tautan yang sebenarnya tidak pernah terhubung.

Ya Rabb, bagaimana aku harus menyikapi ini? Tunjukkanlah jalan mana yang harus kutempuh untuk berproses menyembuhkan hati yang sudah retak ini.

Meski tanpa suara, ucapan Yasmin dalam hatinya tetap terasa sesak. Bahkan lebih sesak dari yang sudah-sudah. Seperti ada beban ratusan kilo yang menimpanya dan dia butuh pertolongan segera sebelum napasnya habis karena oksigen yang terus terkikis.

"Yas." Sebuah panggilan dengan suara dalam dan dikenalinya terdengar.

Yasmin menoleh cepat, mendapati Ibrahim, kakak satu-satunya melangkah pelan dengan senyum lebar tersungging. Yasmin membalas senyum kakaknya ketika pria jangkung itu berhenti melangkah. Kakak kandungnya, masihlah pria yang suka memakai baju koko meski dslam acara hajatan seperti saat ini.

"Mas Ibrahim mau ke mana?" tanya Yasmin manis.

"Menemuimu. Apa kamu baik-baik saja, Dek?" jawab Ibrahim sekaligus bertanya.

"Mengapa aku harus tidak baik-baik saja?" Yasmin tidak mengerti.

"Cinta itu fitrah hati. Wajar dialami oleh semua umat manusia. Halalkanlah agar semua menjadi benar atau lupakanlah agar tidak menjadi beban pikiran," ucap Ibrahim.

Yasmin tertegun menatap wajah Ibrahim. Bagaimana mungkin kakaknya berkata seperti itu jika dia tidak tahu apa yang terjadi? Yasmin menunduk dengan mata berkaca-kaca.

"Pergilah. Bilang pada ayah dan ibu kalau kamu akan sekolah di Malang. Sudah diterima juga, 'kan? Aku akan memulai pembicaraan ini nanti malam. Kamu mau, Yas?"

Yasmin mengangguk menahan desakan air matanya. Menunduk sembari terus mengangguk dalam isak lirih di hadapan Ibrahim. Sementara Ibrahim hanya mengusap kepala Yasmin yang tertutup hijab.

Yasmin memandang keseluruhan bangunan yang ada. Kediaman bapaknya ada di sisi terpisah, lurus dengan pintu gerbang, tetapi perlu berjalan melingkar dan melewati depan masjid untuk menjangkaunya. Di sanalah tempatnya dibesarkan dengan penuh perhatian dan seluruh norma keislaman tentang bagaimana menjadi seorang perempuan.

Terlahir sebagai anak Ustaz Abdurrahman dan Ustazah Humaira, Yasmin dididik ketat tentang batas keras antara laki-laki dan perempuan. Diajarkan bagaimana menjaga diri sebagai perempuan dan bagaimana agama sangat memuliakan perempuan sehingga memberikan cara pandang yang lurus dalam menjalani hari-harinya.

"Jangan memikirkan apa pun, Yas! Mantapkanlah hatimu dan tatalah masa depanmu. Tidak akan baik bagimu untuk terus di sini sementara dia ada di tempat yang sama setiap harinya," nasihat Ibrahim.

Yasmin duduk di bawah rimbunnya pohon angsana. Merasakan semilir angin yang berembus sepoi-sepoi dan mengirimkan lagi kenangan akan sosok Mikail kepadanya. Kenangan itu sebenarnya tidak ingin dia relakan untuk pergi begitu saja lalu sirna bersama waktu yang berlalu. Namun, untuk apa memaksa rasa ketika semuanya sudah tidak lagi sama?

"Iya, Mas. Aku mengerti."

Cinta yang tumbuh di dalam hati Yasmin kepada Mikail nyatanya hanyalah harapan kosong. Seperti bibit bunga yang ditanam dalam tanah tandus, tanpa air, terpapar panas, lalu pelahan mengering dan hilang menyatu dalam tanah gersang. Tak ada harapan sama sekali.

Ya Allah, maafkan atas kekhilafan hamba sebagai manusia yang tak luput dari segala kefanaan, bisik hati Yasmin dengan air mata menggenang di kelopak matanya.

Masih terlintas jelas dalam ingatan Yasmin bagaimana cara Mikail tersenyum di suatu sore ketika ustaz itu sedang menyimak tahfidz dari beberapa santri. Yasmin termasuk satu di antaranya. Tanpa sengaja, matanya menatap Mikail yang sore itu mendadak terseyum lalu memuji semua santri yang sudah menghafal dengan baik.

Hati Yasmin kian nyeri mengingat semuanya. Tidak ada satu pun cara yang menunjukkan niatnya untuk dipersunting oleh Mikail. Bunga cintanya layu sebelum membentuk tunas dan berbunga indah.

Rabb-ku, jika masih diperkenankan berharap, aku ingin waktu kembali diputar ke belakang supaya mata ini tidak pernah melihat Ustaz Mikail dan hanya mengenal dia sewajarnya, ucap Yasmin lagi di dalam hatinya.

Yasmin memantapkan hati untuk pergi memperbaiki diri sebelum semuanya menjadi semakin terlambat dan perlahan menenggelamkan dirinya dalam sakitnya sebuah pengharapan.

Semoga suka iaa. Minta vote sama komennya boleh dong, kea biasanya.
Love, Rain❤

Assalamualaikum, Zaujati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang