9

32 6 0
                                    

"Mamak, kalau aku sembuh besok antar aku ke sekolah, ya..."

"Iya, nanti Mamak jagain sampai pulang sekolah," jawab ibu seraya menyisiri rambut Lia.

Aku tersenyum melihat adik bungsuku itu yang begitu ingin sekolah. Lega hatiku, kami sudah di rumah kembali. Lia masih agak lemas. Esoknya, Lia tiba-tiba berdiri sendiri dan berjalan selangkah dua langkah. Kami senang tak terkira melihatnya. Aku sampai ingin menangis karena terharu akan bahagia. Nyeri di kedua pahanya benar-benar hilang tak bersisa.

Namun, aku menangkap pemandangan aneh. Lia berjalan tidak seperti sebelumnya. memang dia sudah bisa berjalan sampai ke rumah nenek di sebelah rumah kami. Sekitar 30 meter dari rumah kami. Tapi, Lia seperti memiliki kaki yang tidak sama panjang. Pokoknya cara dia berjalan tidak normal. Kalau orang Jawa menyebutnya diglug-diglug.

"Bu, kenapa jalannya Lia seperti itu?" tanyaku cemas.

"Mungkin masih belum pulih benar."

"Tapi, Bu. Bisa normal lagi nggak ya? Kalau sampai besar seperti itu gimana, Bu?" Aku tidak membayangkan jika ia tetap seperti itu sampai besar.

Aku terus mengamatinya yang berjalan ke rumah nenek. Dia memakai baju baru yang dibelikan nenek dengan gembiranya. Lia itu sangat senang kalau punya baju baru. Bisa-bisa tiap hari pakai baju itu saja. Cuci kering, pakai lagi. Hatiku masih ngilu melihat tubuhnya yang kurus, jauh dari sebelum mengalami sakit berkepanjangan ini. Dulu, Lia sangat gemuk sampai perutnya berlipat-lipat. Kini Lia hamir seperti lidi.

"Bisalah. Nanti pasti normal lagi," kata ibu penuh keyakinan.

Aku berharap yang dikatakan ibu benar.

Guru-guru dan teman sekelas Lia datang ke rumah hari itu. Lia malu-malu dan tetap dengan diam membisunya. Ada 5 orang guru yang datang. Kami senang sekali karena mereka masih berkenan meluangkan waktu sedikit untuk menjenguk Lia. Aku benar-benar berterima kasih pada mereka yang berbaik hati datang untuk menguatkan hati Lia. Lia tampak senang. Salah seorang guru memberikan amplop.

"Ini hasil dari sumbangan murid-murid di SD. Mohon diterima, meskipun tidak seberapa jumlahnya."

Ayah dan ibu berterima kasih banyak.

"Masih sakit nggak Lia?" tanya seorang guru wanita.

Lia menggeleng.

"Tunggu sampai pulih aja, Bu, baru sekolah. Nggak papa istirahat aja dulu sampai benar-benar sembuh."

Kami yakin sekali Lia sudah sembuh dan tidak lama lagi kembali sekolah seperti biasanya.

Usai mereka pulang, ibu membuka amplop. Isinya lumayan. Ada banyak uang besar dan uang kecil. Lia meminta uang kecil. Ibu memberikannya. Lia meletakkan di dalam tas kecilnya.

"Nanti untuk kita bikin syukuran kesembuhan Lia ya," kata ibu.

Aku mengangguk setuju. Karena Lia sudah sembuh, aku kembali lagi ke rumah mertua. Ibu memintaku untuk membantu di hari syukuran untuk Lia.

Tiba di hari itu, aku mampir sepulang mengajar. Di dapur ada kedua bibiku dan ibu sedang memasak ayam dan urap (aneka sayur direbus dan dicampur dengan parutan kelapa yang sudah dimasak dan dibumbui). Di tempat kami, jika ada banca'an (merayakan ulangtahun secara berbagi makanan) atau syukuran kami melakukannya dengan cara berbagi nasi dan lauk pauk; ada ayam, urap, kue atau gorengan dan ada ikan asinnya juga. Ada juga yang ditambahi kerupuk. Lalu kami membagikannya ke rumah tetangga dekat.

Setelah melihat keadaan dapur yang ramai, aku langsung menemui Lia di ruang depan. Aku tidak suka melihat dia tiduran. Hatiku mulai was-was. Aku tidak suka, benar-benar tidak suka jika melihat Lia terkapar lagi. Aku ingin lihat dia bermain dengan riang.

"Lia kenapa, Yah?" tanyaku melihat ayah menunggui Lia baring-baring sambil mengipasinya.

"Lehernya sakit."

"Sakit kenapa?"

"Kaku nggak bisa dipakai noleh."

Allah.... Cobaan apa lagi ini. Kenapa sakit yang dirasakan Lia seolah tidak ada habisnya? Terhitung baru dua hari Lia bisa berjalan dan kini ia terbaring lagi, kesakitan lagi.

Kucoba menghalau resah dan berseloroh apa saja yang menyenangkan. Contohnya memuji hasil gambaran dia yang unik dan rapi. Sampai penuh buku gambarnya.

"Mbak Erni, belikan mainan..." pinta Lia sambil berusaha duduk.

"Mainan apaan?" tanyaku membantunya duduk. Lia bisa duduk tapi tidak bisa menggerakkan leher.

"Ya mainan yang di warung."

Aku paham. Yang Lia maksud adalah mainan seharga 2.00-4.000-an yang dijual di warung-warung. Aku langsung pergi. Kubelikan dia Buavita jambu, susu steril dan mainan menempel gambar sayap kupu-kupu dengan serbuk warna, cat kuku dan buku TTS yang disertai gambar untuk diwarnai.

Lia gembira sekali hanya dengan mainan murahan seperti itu. Aku dan ayah membantunya membuat kolase sayap kupu-kupu. Sampai-sampai ayah salah membuka lengketan tempat kolase. Ayah malah membuka tepian sayap.

"Aduh Bapak gimana sih? Kok malah itu yang dibukaa?!!" omel Lia marah-marah.

"Aduh, salah ya."

Aku tertawa melihatnya. Aku membantu membenarkan kerusakan yang ditimbulkan oleh ayah. Ayah malah tertawa menyadari ketidaktahuannya.

Lia main dengan riang. Aku kembali membantu ibu di dapur. Setelah siap, aku menjajakan nasi ke rumah tetangga. Niat awalnya syukuran atas kesembuhan Lia, karena melihat Lia sakit lagi, jadinya aku sampaikan memohon do'a untuk kesembuhan Lia.

Usai mengedarkan nasi, aku menunggui Lia tidur. Ibu sedang di belakang rumah entah menanam apa. Aku mengipasinya yang keringatan. Tidak lama, Lia bangun. Lucunya, dia langsung menoleh ke belakang ketika matanya terbuka, mungkin melihat siapa yang ada di belakangnya. Lalu, beberapa detik kemudian Lia ingat kalau lehernya sakit jika digerakkan. Lia langsung mengaduh dan merengek kesakitan.

Aku tertawa kecil sambil meniupi lehernya yang sakit. Barangkali kalau ditiup bisa berkurang nyerinya.

Suhu badan Lia sedikit hangat, tidak begitu panas. Sorenya ketika Ani pulang, dia langsung mencoba cat air warna pink keunguan yang aku belikan untuk Lia. Lia riang sekali melihatnya. Dia langsung memintaku untuk mewarnai kuku kecilnya. Pelan-pelan kusapukan cat kuku berlabel halal tapi murah itu ke semua kuku Lia termasuk kaki. Warnanya benar-benar ngejreng, kontras dengan kulitnya yang bersih cenderung pucat. Lia jadi terlihat cantik sekali memakai cat kuku itu. Dia begitu gembira, bercerita ini itu dengan riangnya. Aku menanggapi dengan riang, berusaha masuk ke dunianya.

"Sini, aku pakaikan juga buat kamu," katanya menarik tanganku. Jangan heran kalau Lia memanggil 'kamu'. Lia memang bandel begitu dan nggak ada sopan-sopannya sama kakaknya.

"Eh, jangan-jangan. Kaki aja," jawabku yang pasti akan malu sekali jika kukuku berwarna ngejreng pink menyala seperti itu. Malu dilihat anak-anak di PAUD. Kalau kaki kan bisa ditutup kaos kaki.

Lia lalu mengoleskan cat kuku dengan pelan-pelan. Ia terus menjaga agar lehernya tidak sakit. Aku tersenyum mengamatinya begitu serius. Dalam hati aku berharap, semoga ini adalah akhir dari kesakitan Lia.

^^^

Diary LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang