5

29 6 0
                                    


Oh ya. Ada satu kejadian yang membekas diingatan. Suatu hari –ini sebelum dia demam berkepanjangan- aku yang sudah bekerja di PAUD mampir pagi-pagi ke rumah ibu untuk meletakkan dagangan skincare-ku. Karena kebanyakan pembeli mengambil di rumah ibu yang strategis –di tepi jalan besar.

"Tadi Lia rada masuk angin. Tapi ngotot mau sekolah. Nanti tolong lihatin Lia ya."

Aku mengangguk menjawab perintah ibu.

"Ini bawa minyak kayu putih. Nanti diolesin punggungnya ya."

Di sekolah, aku mendatangi kelasnya. Penduduk di lingkungan kami belum banyak. Murid kelas 1 hanya berjumlah 6 orang. Waktu itu kulihat Lia dan Mijah duduk di bangku masing-masing di delam kelas. Padahal yang lain asik berlarian di luar. Mijah juga kurang lebih sama pendiam dan pemalu seperti Lia.

Dia menolehku. Aku melihatnya tidak melakukan apa-apa di bangku. Hanya duduk tenang. Padahal teman-teman yang lain hiperaktif.

"Sini!"

Lia mendekat setelah kupanggil.

"Mbak Lia masuk angin ya?"

Lia diam saja. Mulutnya rapat sekali.

"Kok diam saja? Perutnya sakit ya?"

Lia tak juga mau bicara. Malah kedua mata beningnya merebak.

"Sini aku olesin punggungnya," kataku yang kemudian membuka baju bagian belakang dan mengoles minyak kayu putih. Teman-temannya menyapaku seraya mendekat memandangi kami.

Lia semakin berkaca-kaca. Serius aku tidak tahu dia menangis karena apa. Dia tidak bicara. Hanya menatapku dengan genangan di matanya.

"Loh kok nangis? Jangan nangis gitu. Malu diliat temen."

Air matanya menetes. Aku mengusapnya dengan tangan kosong.

"Kuat enggak sekolah? Kalau nggak kuat aku anter pulang ya?"

Lia menggeleng.

"Bener kuat? Mau sekolah?"

Lia mengangguk.

Sungguh, aku jadi bingung sendiri. Apa sih yang menjadi penyebab dia menangis? Apakah sakit tapi disembunyikan? Atau malu dilihat teman-temannya? Atau tersentuh karena aku perhatikan? Tapi dugaan yang terakhir sepertinya bukan. Masa iya anak kecil bisa tersentuh begitu?

Setelah Lia sedikit tenang, aku kembali ke PAUD.

Selang beberapa jam, Bina dan Wawa berlari ke PAUD.

"Mbak Erni... Lia sakit perut!" kata Bina dengan suara lantang.

"Sudah dibolehin pulang sama bu guru," tambah Wawa.

Aku segera mengantarnya pulang saat itu juga.

^^^

Satu hal lagi yang tidak Lia bisa, yaitu bernyanyi. Kami bertiga memang tidak punya skill di bidang tarik suara. Si Ani juga fals banget kalau nyanyi. Suaranya kayak kaleng diseret. Nada sama musik tempur nggak seirama waktu menyanyi di organ resepsi pernikahanku. Aku ingin menutup telinga mendengarnya. Begitu dia malah PD saja meneruskan lagu sampai habis.

Lia juga lebih parah lagi. Yang paling membuat perutku geli adalah ketika mendengarnya menyanyikan lagu 'Sayang' dari Via Valen.

"Sayang..., opoooo kowe kruuunguu, jerite atiiiikuuuu...."

Yang benar kan 'Opo kowe krungu' harus disambung cepat dan yang panjang adalah 'krunguuu'. Justru Lia menyanyikan dengan nada yang meleset jauh.

Nyanyi burung kakak tua saja Lia tidak bisa.

Lia pernah pulang-pulang heboh minta carikan lagu yang tadi diajarkan oleh guru. Kami menanyai judul lagunya. Seperti apa syairnya?

Lia malah melongo sambil ketap-ketip.

"Entah ya apa tadi judulnya." Lia mengetuk-ngetuk janggut.

"Masa lupa? Coba contohin nyanyinya seperti apa?" suruhku.

"Pokoknya bintang-bintang gitu."

"Bintang kecil?"

"Bukan, bukan! Pokoknya bintang, ada bertaburannya."

Tuh, baru tadi dipelajari sudah lupa. Benar-benar adikku yang satu ini. Aku cuma geleng-geleng kepala. Besoknya Ani laporan, dia sudah menanyai teman sekelas Lia soal lagu itu dan ternyata judulnya Bintang Kejora.

Kupandang langit, penuh bintang bertaburan...

Berkelap-kelip seumpama bintang mulya...

Tampak sebuah lebih terang, cahayanya...

Itulah bintangku, bintang kejora, yang indah slalu...

Kalau Lia yang nyanyi jadinya bukan berkelap-kelip, tapi berkelip-kelap. Sudah ditegur kalau salah, malah ngeyel.

Lia benar-benar makhluk Tuhan paling aneh. Dia pernah cerita teman-temannya disuruh maju mengerjakan soal Matematika di papan tulis. Kemudian dia bilang begini;

"Untung saja aku tidak disuruh maju."

Aku ketawa lalu membalas; "Anak pinter mah gitu. Senangnya minta ampun kalau tidak disuruh maju."

Lia sadar aku menyindir. Dia malah ketawa sambil menutup wajahnya pakai tangan.

^^^

Diary LiaWhere stories live. Discover now