Dua

39 4 4
                                    

Detik demi detik berlalu, berputar seiring berjalannya waktu dan jarum jam tak henti mengitari tempat yang sama dalam setiap harinya. Sama halnya dengan diriku. Ya, aku-yang terlupakan tetapi tak pernah tergantikan. Akan selalu terpatri dalam hati sang pemilik dan pencipta diriku dalam alunan nada atau diamku penuh makna.

Semua rasaku tentangnya berawal dari seorang pria. Dia merelakanku pergi dengan suka rela kepadanya―temanku, keluarga baruku―untuk menemaninya dalam suka dan duka.

Raut wajah ragu bercampur pilu terlihat jelas pada paras sendu miliknya. Matanya melirik ke sana kemari memerhatikan teman-temanku yang berdiri tegap, gagah seperti biasanya. Mereka terlihat istimewa dibandingkan dengan diriku yang biasa. Tempat aku berada pun berbeda. Hanya satu dari sepuluh angka kemungkinan peluang yang aku dapatkan untuk dilirik olehnya. Ya, sama seperti waktu-waktu sebelumnya. Hanya lirikan yang aku dapatkan, tak pernah tersentuh apalagi dengan sebuah penawaran.

Rasanya aku tercipta dengan segudang ketidaksempurnaan, tidak seperti mereka. Bahkan sekadar disentuh saja tak layak, bagaimana aku bisa menjadi pemuas sempurna jika tak ada yang tertarik padaku? Terkadang aku berpikir sang pencipta tak adil, dia menciptakan diriku apa adanya tanpa ciri khas seperti lainnya. Dan begitupun saat ini, saat dimana aku merasa putus asa. Namun, rasa putus asaku tak berlangsung lama. Teman di sampingku berkata, "Jangan bersedih, kawan. Kurasa dia akan memilihmu. Dan kuatkan dirimu, karena akan berpisah denganku yang jauh berkelas serta berkualitas dibanding dirimu."

Kata-katanya tetaplah sama, dia adalah temanku yang baru bergabung bersama kami. Namun, dia jauh lebih berkelas, dan tentunya agak sedikit sombong.
Dan aku, tetaplah sama. Menjalani takdirku, apa adanya seperti sang tuan yang menciptakanku. Hanya bisa menunggu sang tuan baru atau teman yang bisa melihatku dengan kalbu. Bukan sekadar memandang dengan sebelah mata atau harga.

Diam dan tetap memasang senyum semenarik mungkin agar terpancar aura yang membuat siapapun tertarik padaku. Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Sembari berdo'a dalam hati agar pria yang bersama gadis itu melirik ke arahku.

Beberapa menit berlalu, tetapi keadan masih sama, dia belum melihatku apalagi beranjak menyentuhku. Aku mulai putus asa dan pasrah akan keadaanku yang tidak sempurna. Tapi, entah apa yang membuat pria muda itu tiba-tiba menggenggamku. Ia meraih dan melihat setiap jengkal bagian tubuhku. Sungguh aku merasa malu, karena sebelumnya hanya tuan penciptaku yang mengetahui seluk beluk tubuh ini.

"Itu bagus, Mas. Dia cocok untuk adek ini." Tuanku menunjuk gadis itu. Aku merasa terharu, kali ini dia benar-benar memujiku di hadapan tamunya.

"Tubuhnya ringan, suaranya juga bagus, dan sangat cocok untuk seorang pemula, harganya juga tidak terlalu tinggi saya tawarkan untuk anda," ucapnya kembali menjelaskan tentang diriku.

"Iya, saya rasa juga begitu. Berapa harga pasnya?" Pria muda itu tengah melakukan penawaran untuk diriku.

Aku merasa tak percaya, tetapi ini kenyataan yang membuatku bahagia sekaligus khawatir. Mengapa? Karena aku takut kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali. Tuanku tak memberikan harga sesuai keinginan tamunya dan aku kembali harus menunggu di sudut membosankan itu.

Kini, aku tak peduli lagi akan sebuah penawaran dan keputusan yang akan diambil oleh kedua orang itu. Manusia memang seperti itu, terkadang berpikir terlalu lama dan membuat sebuah penawaran. Pada akhirnya, tidak jadi. Aku memutuskan untuk menulikan telingaku meski hakekatnya aku tak punya telinga. Mataku pun terpejam, meski pada kenyataannya aku memang tak punya indra penglihatan seperti manusia. Tapi aku di sini, dalam kisah ini, aku menjadi saksi dalam kehidupan seseorang di hadapanku. Dia, temanku, tuan baruku. Dan kehawatiranku beberapa detik lalu sirna karena tergantikan dengan rasa haru serta bahagia bahwa mimpi dan kehidupanku akan berubah pada detik berikutnya.

Bingkai KehidupanWhere stories live. Discover now