10. Malam Ren

0 0 0
                                    

--

Semuanya tidak berjalan sesuai pikiran gadis yang masih mengerjakan tugasnya dimeja gambar kosnya. Gelas kopi yang sudah kosong isinya menjadi teman bermalamnya. Ponsel yang semula ramai akan musik kini berhenti untuk membunyikan dentingan notifikasi khusus chat keluarga.

From : Pops
Sabtu balik ya, ada yang mau mama papa omongin

Ren sudah tahu itu. Tapi ia sama sekali tidak menyangka akan secepat ini. Walaupun ia menduga ia tidak akan merasa sakit saat mendengar kabar cerai orangtuanya, nyatanya ia tetap merasa sakit.

Ia ingin memeluk seseorang. Ia sudah dewasa. Diumurnya yang 19 tahun, tentu sudah menjadi alasan 'dewasa' dalam permasalahan asuh orangtua. Ia tidak bisa membayangkan kehidupan keluarga yang dulu akan terpisah menjadi kubu.

Siapapun ..., tolong gue..

Ren terisak. Ya, terisak. Gadis yang selalu tenang dihadapan temannya, yang justru tidak akan membayangkan ia menangis, kini memendam kepalanya diatas lipatan tangannya. Ia bingung mana yang harus ia selesaikan, tugasnya, atau pikirannya?

"Ren udah beli tiket pesawat. Balik? Bulan depan aja, soalnya males juga bolak-balik. Jauh. Aku bawa tugas juga, jadi harus ketemu temen dulu buat nitip beberapa tugas sama pesen. Hah? Oke, iya, Waalaikumsalam,"

Ren menutup ponselnya setelah selesai berbincang dengan Girel, supir Papanya. Ia sudah tahu apa pembicaraan yang akan ia hadapi, tapi kini ia hanya bisa bersandiwara. Berpura-pura seolah manekin yang mengikuti cerita penulis yang ia sudah tahu akhir dari cerita tersebut.

Pikirannya yang kalut membawanya ke kafe terlalu awal. Ia membuka buku untuk meringankan beban pikirannya dan bersiap menceritakan segalanya pada sahabatnya, Akya.

Matanya yang terlihat seperti habis menangis semalaman sudah ia kompres dari pagi sekali. Bibirnya yang sedikit pucat karena kurang tidur sudah ia beri liptint.

Ren begitu. Ia segitu tidak inginnya dipandang lemah oleh oranglain, termasuk orangtua dan sahabatnya. Lalu siapa ia bisa bersandar? Ren pun belum menemukan orang itu.

Orientasi puncak akan diselenggarakan dua bulan lagi. Sudah ia rencanakan dengan matang agar ia bisa melaksanakan puncak acara orientasi yang digadang-gadang akan menjadi mimpi buruk semua mahasiswa baru.

"Ada apa nihh tumben panggil gue duluan?" Akya duduk didepannya dengan senyuman h
jahil khasnya.

Ren sudah kembali pada posisi. Ia sudah bersiap, namun mulutnya enggan. Ia tidak bergerak sesuai nalarnya.

Lu kenapa Ren? Takut?

Suara dalam pikirannya kembali membungkam semua pikirannya. Tidak, tidak. Ren berusaha menormalkan kembali pikirannya namun hanya beberapa kata gagap yang ia keluarkan.

"BAM!" Suara besar Akya benar-benar membuatnya kembali kealam sadar. Ren hampir terpingkal jatuh karena aksi random Akya yang membuatnya tidak bisa berpikir.

Akya dan Ren kembali berbincang membicarakan apa yang Ren rencanakan. Akya menangis. Ya, reaksi yang Ren prediksi akan datang dari seorang Akya yang lemah akan berita sedih.

Ren tersenyum, semuanya terasa lega setelah ia bicara pada Akya. Ia sudah menitipkan beberapa barang pada Ibu kos dan sudah saatnya setelah ini ia berangkat. Ia harus kembali menuju kos terlebih dahulu baru berangkat menuju bandara.

Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Akya, barulah Ren kembali menjadi dirinya. Ren yang memutar musik cukup kencang dengan earphone sepanjang perjalanan dengan taksi online.

Seperti gadis pada umumnya, Ren memandang jalanan kota yang tidak cukup padat kala itu dengan tatapan sendu. Musik yang meredam sekelilingnya membuatnya lebih tenang. Pertanyaan dari supir taksi online juga luput dari perhatiannya.

Ia benar-benar akan menghadapi ini. Dengan segala skenario yang ia susun dikepalanya ia tahu apa yang harus ia lakukan.

"Halo pa, ini aku udah sampe bandara. Sebentar lagi berangkat,"

Sesampainya Ren di kota asalnya, Surabaya, ia harus menelpon Girel untuk dijemput. Girel yang sudah cukup dekat dengannya tentu saja ingin tahu apa yang ia lakukan selama ini selama menjadi mahasiswa di kota asing. Setelah sampai dan menemukan Ren, Girel datang membawakan koper. Gadis itu memakai kacamata hitam untuk menutupi kantung mata akibat semalam.

Ia benci diinterogasi oleh siapapun, seolab ia baru saja melakukan tindak kejahatan. Dan kegiatan Girel inilah yang membuatnya semakin ingin menutup telinganya dengan musik.

"Gimana kuliah?" Tanya Girel sambil menyetir. Lelaki yang umurnya lima tahun diatas Ren melirik siluet gadis itu dari cermin spion tengah. Ren sendiri menatap jalanan seperti ia yang biasanya.

"Ga kenapa-napa. Banyak tugas. Sibuk ospek," Jawabnya singkat.

"Terus? Ada cowok ganteng nggak disana? Pasti udah dapet pacar,"

Ren bersumpah ia ingin pura-pura tidur saja untuk menghindari segala pertanyaan Girel.

"Arsitektur ga seluang itu buat nyari cowok asal Mas tau aja," jawab Ren singkat. Dan tentu saja padat.

Girel menaikkan kedua alisnya seolah paham, padahal ia tahu pasti ada cerita dibalik diamnya Nona muda Ren yang suka menyembunyikan segalanya.

ChamomileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang