1. Arch

3 1 0
                                    


Kebahagiaan yang murni memenuhi ruang keluarga di kediaman rumah keluarga Madhani, keluarga yang terbilang ... silver spoon?

Ren, gadis yang selalu disayang kedua orang tuanya tersenyum bahagia mendapati ia diterima di perguruan tinggi dengan jurusan yang ia minati, arsitektur.

Gadis dengan perawakan yang terbilang hampir semua—bagi kebanyakan orang—membawa berita bahagia ini ke keluarga. Ia tahu, kebahagiaan yang ia dapati ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang tuanya juga.

"Alhamdulillah, terimakasih Ren udah kasih Papa Mama kado terbaik tahun ini. Sekali lagi, congratulation for you, our only dearest daughter," Sadri Madhani, Ayah Ren memeluk anaknya hangat diikuti dengan Hasyi Gianna, Ibunya.

Ren tersenyum, menikmati kebersamaan ini yang sangat langka ia temui. Dimana kedua orangtuanya sibuk bekerja diluar kota dengan durasi kebersamaan yang termasuk minim. Percakapan di sosial media yang dibilang hanya formalitas itu tak jadi obat.

"Sama-sama ma, pa," Ren melepas pelukan itu dengan senyum kecilnya. Ia terbiasa hidup mandiri karena ditinggal orang tuanya, membuatnya jatuh pada pilihan menjadi anak rantau di jenjang pendidikan lanjut.

"Habis ini kita siap-siap cari kos buat kamu, beli peralatan, sama nyiapin berkas sama alat buat ospekmu," seru Sadri tegas. Ia menatap Hasyi lalu Ren bergantian untuk meminta persetujuan. Kedua perempuan itu mengangguk dengan senyum.

Ren memasang wajah datarnya, dengan jutaan rasa bahagia yang ia pendam di dadanya. Okay Ren, you're done. You can live with your own now. You don't need any permission to do what you want.

Ren naik menuju kamarnya di lantai atas, mengambil buku kecil yang selalu ia bawa lalu menuliskan untaian aksara didalamnya.

Kalau kebahagiaan menjadi sebuah perpisahan, akankah menjadi kata yang tetap?

Ia lalu menutupnya dan mengambil cangkir yang masih bersisa kopi tadi pagi. Ia menyusupnya pelan, dan menatap langit-langit dengan tatapan kosong, melamunkan hal-hal yang tidak ingin ia pikirkan.

Semuanya pasti baik-baik aja. Ini bukan perpisahan, ini jadi selamat datang buat gue. Lo cuma perlu pura-pura gatau. Biarin waktu yang ngejalanin tugasnya.

Orientasi berjalan sesuai rencana. Kegiatan yang berisi teriakan—walau semua orang akan berkata itu adalah pembinaan—telah selesai dalam waktu hampir delapan jam. Tak perlu waktu lama bagi Ren untuk mendapatkan teman, karena ia bertemu banyak orang dari seluruh nusantara.

"Ren, laper ga? Makan yuk!" Ajak Akya dengan raut lelah dengan peluh yang bertebar diseluruh wajahnya. Ren mengangguk sambil tersenyum. Ia tak kuasa memberikan energi kepada orang lain lagi.

Hari orientasi menjadi hari bersejarah bagi seluruh mahasiswa baru. Ren dengan fisiknya berhasil menarik beberapa mahasiswa lain dan kakak tingkatnya. Dengan keterkaitan hukum alam yang tak ada habisnya tentang dunia milik semua yang berparas apik.

"Ren, kayaknya tuh cowok ngeliatin lo dari tadi," Akya menyentil bahu Ren pelan dengan tangan sebelahnya sambil menyuap sendok bakso. Ren menautkan alisnya, tanda ia penasaran. Ia melihat beberapa mahasiswa baru dengan seragam khas habis orientasi meliriknya sambil membisikkan sesuatu diantara mereka. Ketiga lelaki itu lalu tertawa kecil dan kembali meliriknya.

Ren tersenyum miring dan mengalihkan pandangan. Tidak tertarik dengan topik romansa yang sudah ia telan selama ia duduk di bangku sekolah. Walau ia akui tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena suatu alasan.

"Hiii yang kiri kan ganteng Ren. Denger-denger doi anak pejabat juga loh," Sahut Akya semakin menggoda Ren.

"Gue masih belum mau dan ini belum waktunya. Berhubungan sama seseorang ga sesederhana itu," Jawab Ren semakin membuat Akya gemas.

"Ih, emang tipe cowok yang lo tunggu gimana sih? Keknya doi beruntung banget bisa dapetin lo nanti,"

Ren menatap Akya dengan tatapan sendunya, "Gue ga pengen muluk-muluk. Gue mau cowok gue setia," jawab Ren dengan perasaan yang semakin membuatnya sedikit sesak.

Memikirkan bagaimana kehidupan romansanya dimasa mendatang bagaimana, bagiaman kehidupan yang akan ia lalui dimasa dewasa, dan seterusnya. Perasaan masa lalu terus menghantuinya hingga kini dan nanti. Walaupun ia tahu sendiri ia hanya bisa menunggu waktu.

Agar waktu bisa menjalankan tugas terbaiknya, melepas atau kian mengikatkan.

Pikiran Ren yang selalu ia ikat diatas kepala agar tidak membuatnya terlihat menyedihkan terus mengiangkan gambar yang tidak ingin ia ingat. Gadis itu menghela nafas, lalu menggelengkan kecil kepalanya berharap gambar itu sembunyi lagi.

"Aha! kalo gitu mah abang-abang jualan di pinggir jalan bisa niiih?" goda Akya lalu mengerlingkan manik mata genitnya menggoda abang jualan bakso yang daritadi menguping.

"Apaan sih," balas Ren dengan tawa kecilnya.

ChamomileDär berättelser lever. Upptäck nu