Awalnya Devan ingin membantu perempuan itu untuk meraih buku tersebut. Namun ketika Devan mengingat apa yang dilakukan Ana di UKS dan kejadian di toilet rumah sakit, ia ingin membalaskan dendamnya pada Ana, Devan merasa tidak terima dengan sikap jahil Ana yang berhasil membuatnya seperti orang bodoh. Maka dari itu, Devan meletakkan buku sejarah itu di rak paling atas.

Salah siapa jadi cewek pendek!

Satu kejadian yang membuat Devan juga tidak mengerti kenapa ia bisa memberikan dompetnya pada Ana begitu saja. Padahal untuk sebelum-sebelumnya ketika Ana ingin meminjam uang padanya, Devan akan terlebih dulu menjahili perempuan itu dengan menyuruhnya membersikan toilet kamar miliknya, sehingga membuat perempuan itu mengamuk ketika ia mengunci kamar mandi tersebut dari luar.

Tasya?

Melissa Anatsya?

Devan beranjak dari posisinya, gerakan Devan yang tiba-tiba itu membuat Dika menahan tangannya.

"Mau kemana bro?" Dika bertanya, sementara pertanyaannya sendiri belum juga dijawab oleh Devan. "Pertanyaan gue belum lo jawab, bangsat."

Devan mengibas pelan cekalan tangan Dika. "Pulang, besok upacara," jawabnya dingin, ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.

Dika menganga seraya melebarkan matanya, ini bukan Devan yang seperti biasanya, sekarang masih belum terlalu malam dan apa tadi? Devan memikirkan soal upacara? Bukan Devan namanya jika orang itu mengkhawatirkan kegiatan tersebut.

--

Pukul sepuluh lewat tiga puluh menit malam, sebuah mobil terparkir sesuai tempatnya di garasi salah satu rumah besar yang berada dikawasan komplek. Devan turun dari mobil, lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.

Namun langkahnya terhenti sebelum ia benar-benar masuk ke dalam rumah ketika melihat seorang perempuan keluar seraya menenteng kantong plastik besar disalah satu tangannya melalui pintu yang ada dibelakang garasi.

Devan mengerjapkan mata berulang kali, memastikan apa yang ia lihat itu bukan makhluk halus yang disebut kuntilanak. Salahkan saja pada perempuan, siapa suruh keluar dari rumah dengan hanya menggunakan kemeja putih dan hotpants hitam.

Sama persis seperti apa yang tengah Ana rasakan, tubuhnya terperanjat ke belakang ketika melihat Devan berdiri di depan pintu mobilnya, Ana menarik napas panjang setelah memastikan apa yang lihat bukan hantu.

Ana mengabaikan tatapan Devan yang menatapnya, satu alisnya naik seraya memiringkan kepala sebelum melanjutkan langkahnya, melewati Devan begitu saja menuju keluar gerbang rumah. Tidak seperti biasanya Devan pulang sebelum larut malam, dan tidak dalam keadaan mabuk berat.

Setelah memasukan kantong plastik yang ia bawa ke dalam tong sampah, Ana membalikkan badan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Namun ketika Ana baru saja membalikan badan, ia kembali dibuat kaget oleh kehadiran Devan yang tiba-tiba berada di belakangnya.

"Devan sialan!" Ana berteriak, memaki Devan tepat di depannya. "Lo mau bikin gue serangan jantung mendadak, hah?!"

Devan mengabaikan makian Ana, justru ia melangkah maju, mendekatkan tubuhnya pada tubuh Ana, menariknya tubuh kecil itu untuk ia bawa ke dalam pelukannya. Devan merengkuh tubuh kecil itu, menenggelamkan kepalanya pada bahu kanan Ana. Kedua tangan Devan yang berada di belakang punggung Ana kini ia tarik untuk mempererat pelukannya.

Tubuh Ana memaku seketika, untuk pertama kalinya seorang Devan memeluknya. Wajah Devan yang berada pada bahunya membuat Ana bisa mencium aroma alkohol yang keluar dari napas Devan, ya laki-laki itu tengah mabuk sekarang.

"Lo kenapa sih jadi aneh gini?" tanya Ana setelah meredakan emosinya. "Setiap pulang mabuk lo selalu bertingkah seperti ini sama gue."

Devan mengabaikan ucapan Ana, ia justru kembali mengeratkan pelukannya yang tak dibalas oleh perempuan itu.

"Devan... "

Ana ingin menangis, tapi ia coba untuk tahan. Ana ingin memberontak tapi ia tahu itu tidak akan berhasil. Sekali lagi, Ana hanya bisa pasrah atas apa yang Devan lakukan pada dirinya.

Ana sendiri juga tidak tahu kenapa setiap bersama Devan, ia tidak bisa melakukan apapun, perempuan pemberontak itu kini lemah tak berdaya dihadapan seorang Devan, di dalam dekapan dada bidang Devan.

"Tetap seperti ini sebentar, gue mohon."

Ana bisa merasakan deru napas Devan yang tak beraturan itu menembus kulit lehernya, posisi Devan seperti ini membuat Ana takut. Ana takut dengan perlakuan Devan yang berubah mendadak seperti ini menjadikan dirinya harus berurusan dengan Devan, sudah cukup dengan masalah yang ia alami selama ini.

Karena Ana tahu, sangat tahu pasti jika ia berurusan dengan Devan hanya akan menimbulkan masalah baru, Ana takut terbawa suasana, dan ia sadar diri dengan posisinya saat ini.

Devan menarik diri dari pelukan, memberi jarak pada tubuh Ana, kedua tangannya memegang kedua bahu Ana seraya menunduk dan menatap wajah Ana lekat.  Devan menarik dagu Ana, mendongakkan kepala Ana agar menatapnya dan saat itu juga ia bisa melihat jelas kedua mata Ana yang basah.

"Lo nangis?" Jemari Devan perlahan naik, membelai pipi Ana, menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi perempuan itu. "Jangan nangis, gue— "

"Udah? Gue mau masuk," sergah Ana cepat, tidak ingin mendengar penjelasan Devan.

Devan menahan tubuh Ana agar tidak pergi. "Gue mau ngomong sama lo."

"Apa?" tanya Ana dengan intonasi yang meninggi, tangan kanannya naik melepas tangan Devan yang berada di pipinya. "Van, gue nggak pernah ingin tau sama sekali tentang hidup lo. Gue disini kerja, dan apapun yang lo lakuin di luar sana itu bukan urusan gue. Jadi please! Jangan bawa gue ke dalam masalah lo."

"Gue nggak ada niatan bawa lo masuk ke dalam masalah gue. Gue cuma... " Ucapan Devan terhenti, ia merasa tidak sanggup untuk menjelaskan semua tentang dirinya saat ini.

"Van, lo bebas ngelakuin apapun yang lo mau. Lo mau mabuk-mabukan, mau pulang malem, mau ciuman sama siapapun, gue nggak peduli. Tapi please, jangan peluk-peluk gue seenak jidat lo, gue nggak suka."

Devan bisa melihat raut wajah ketakutan sekaligus kekhawatiran perempuan itu dari suaranya yang bergetar. Devan menyerah, ia melepaskan tangannya yang berada di bahu Ana, kemudian mundur beberapa langkah dari sana.

"Maaf, jangan nangis. Gue— "

Sebelum Devan menyelesaikan ucapannya, Ana beranjak dari posisinya, melewati tubuh Devan dan berlari masuk ke dalam rumah. Dari posisinya Devan masih bisa melihat Ana menyeka air matanya saat sedang berlari.

Suara petir menggema, kilatan cahaya pun membelah langit gelap di atas sana. Tak ada rintikan, derasnya hujan yang tiba-tiba turun membasahi sekujur tubuh Devan yang masih berdiri didepan pintu gerbang rumahnya, ia menatap lekat pintu rumah yang perempuan itu masuki tadi.

Nggak mau sedih gini aslinyaaaa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nggak mau sedih gini aslinyaaaa

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian yaa


DEV'ANA (END)Where stories live. Discover now