D U A P U L U H D E L A P A N

649 102 14
                                    

___

“Kau bisa menyelamatkan semua orang dalam persidangan kecuali dirimu sendiri.”
___

Lotia mengunci pintu rumahnya dengan pengamanan ganda, kali ini bukan hanya menggunakan anak kunci atau gembok, tetapi juga berlapis-lapis jeruji besi yang terkunci dengan rantai. Membereskan itu saja butuh waktu nyaris setengah jam, dan aku membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali membuka pintu keluar? Masing-masing jeruji dirantai dan dikunci dengan gembok yang memiliki kata sandi. Bahkan di masa lalu manusia tetap menyukai kerumitan.

Xaviere mondar-mandir sambil sesekali melihat ke arahku. Tegel di bawah kakinya akan membuat sepatunya aus jika dia terus melakukan itu selama berjam-jam. Lotia selesai mengunci semua akses rumah dari dunia luar, menggeleng-geleng sewaktu menyaksikan Xaviere mondar mandir di dekat perapian sementara aku duduk persis di sofa di seberangnya. Lotia bergerak mengambil tempat duduk di sisiku.

“Kau harus bisa berpikir jernih untuk mengambil kebijakan, Xaviere. Jadi, kemarilah. Duduk dan minumlah segelas air,” ujar Lotia tidak lama kemudian. Gadis itu berdiri dan meraih sekan yang diletakkan tidak jauh dari perapian beserta cangkir-cangkir yang tersusun terbalik di dalam nampan.

“Aku sedang menjernihkan pikiranku,” sahut Xaviere.

Sementara itu, aku bertanya-tanya bagaimana kabar Erik. Apakah dia mendapatkan tindakan atas luka di kepalanya akibat amukan penduduk tadi siang, atau justru tidak ada dokter yang mau menanganinya karena statusnya kini resmi sebagai terdakwa hukum mati.

“Kau membuat kami pusing, Xaviere.” Lotia beres meletakkan sekan beserta nampan yang berisi gelas-gelas, lantas menghampiri Xaviere dan menarik siku lelaki itu untuk membawanya duduk di kursi.

“Begini,” ujar Xaviere sembari meremas ujung-ujung jarinya, sesekali menyatukan keduanya di antara paha, atau menyatukannya di dagu. Aku tak pernah melihat gestur panik itu dari seorang Xaviere sebelum ini. “Sebelumnya tidak pernah ada hukuman mati di Schuraze. Dan tidak akan terjadi.”

Tentu saja semua itu masih tentang Erik. Tetapi, Xaviere yang panik bukan kepalang memikirkan putusan itu membuatku heran saat semestinya akulah yang mengalami serangan panik itu. “Erik membunuh dua orang, salah satunya pemimpin distrik. Hukuman itu pantas didapatkannya.” Tersendat-sendat, suaraku terdengar. Lumayan, walaupun terdengar seperti muntahan batu kerikil.

“Tidak adil, dia sudah mendapatkan kematian Jyra. Dan dia juga sudah kehilanganmu, aku kira?” Kalimat terakhir muncul di luar dugaan. Itu juga yang sempat terlintas dalam benakku, tidak pernah terpikir olehku bahwa Xaviere juga berpikir demikian.

“Jika itu argumenmu, katakan di muka pengadilan besok. Penduduk akan mendengarkanmu karena kau Xaviere.” Lotia membalik gelas-gelas dari nampan, menuangkan air mineral satu gelas penuh khusus untuk Xaviere.

Laki-laki itu meneguk air minumnya, menarik napas dalam-dalam, lantas menoleh ke arahku. “Aku tidak yakin pengaruhku pada penduduk sebesar itu. Maksudku, Lotia, yang menjadi pemimpin distrik itu ayahku. Dan jika menilik silsilah, Dena-lah yang punya hak mutlak untuk meneruskan kepemimpinan Ayah.”

Lotia memutar bola matanya sembari menyerahkan satu gelas yang lain untukku. Aku meraih gelas itu tanpa protes, meletakkannya di pangkuanku dengan satu tangan menjadi alasnya, menggunakan jari telunjuk kananku untuk mengitari sisi-sisi gelas, memastikan gelas itu kering dari sisa-sisa air.

“Kau tidak tahu pengaruhmu sebesar itu, Xaviere. Bahkan jika kau minta mereka untuk mengangkat gunung, mereka akan berusaha melakukannya. Argus menggunakan pengaruhnya untuk membuatmu tampak istimewa di mata semua orang.” Lotia meneguk minumannya sendiri, menghapus sisa-sisa pewarna bibirnya yang menempel pada bibir gelas. Aku meringis.

ISCHYRA [TERBIT]Where stories live. Discover now