T I G A B E L A S

750 117 8
                                    

___

Aku hanya ingin mengenal dirimu dengan mataku, bukan dengan mata Xaviere atau penduduk. Aku ingin mengetahui pemimpin ketiga Schuraze dengan seutuhnya, bukan dari apa yang kudengar dari Xaviere dan penduduk.”
___

Selain dari apa yang diceritakan Xaviere dan Odeya kepadaku, serta pengalamanku bertemu satu kali dengannya, aku sama sekali tidak mengenali Argus. Diam-diam aku menyusuri seisi rumah untuk mencari petunjuk sekecil apa pun yang menunjukkan Argus pernah menjejakkan kakinya di rumah itu, bahwa Argus adalah bagian dari sejarah yang tertinggal dari keberadaan rumah itu sendiri. Tetapi tidak kutemukan benda apa pun.

Pandanganku padanya amat bias sejak kesan pertama, dan di mata kedua anaknya, Argus bukanlah sosok yang menyenangkan. Rezim yang dikepalainya tentulah membuat resah warga, jika memang begitu keadaannya. Tetapi di luar dugaan, selain kebencian Xaviere yang begitu besar pada keputusan ayahnya, Schuraze aman-aman saja. Penduduknya berkeliaran di seluruh penjuru distrik, walaupun miskin dan terkantuk-kantuk melewati pematang, tidak ada tekanan dalam tindakan mereka. Semua orang kecuali keluarga Xaviere tampaknya baik-baik saja.

Suatu kali aku membaur di tengah pasar musiman yang diadakan setiap minggu di alun-alun distrik. Sebagai orang asing, aku berpura-pura bergerak penasaran, menawar beberapa barang dagangan—meski akhirnya tidak membeli apa-apa, dan mulai bertanya pada beberapa penduduk sewaktu kami dipaksa melipir karena Argus hendak melewati alun-alun menuju gedung dewan.

“Berapa lama Argus sudah menjabat menjadi ketua dewan?”

“Hampir selama enam tahun sejak pemerintahan berganti.” Seorang berpakaian satin menoleh ke arahku. Ya, kepada siapa saja yang berkenan menjawab, aku bertanya.

“Kapan akan diadakan pemilihan ketua dewan yang baru?”

“Kurasa tidak akan ada pemilihan sampai Argus mati. Tetapi tidak ada di antara kami yang berharap demikian. Argus menggerakkan dewan dengan sangat baik.” Perempuan yang berdiri persis di depanku berbalik, barangkali risih mendengar celotehanku yang tidak pada siapa-siapa. Selagi memberi jawaban, matanya memicing curiga padaku.

“Kau tinggal bersama mantan istri Argus dan anaknya yang tempramen itu, bukan?” tanyanya.

Gantian aku yang memicing ke arahnya. Betul-betul, perempuan itu melontarkan pertanyaan dengan nada meremehkan yang sangat kentara. Aku tidak setuju dengan pandangannya tentang Xaviere. Aku belum pernah melihat Xaviere bersikap tempramen—kecuali saat bertemu ayahnya. “Aku, saudara jauh,” jawabku. Orang-orang ini akan mengenal diriku seperti Xaviere ingin mereka mengenalku—sebagai sepupu jauhnya.

“Jangan termakan amarah keluarga itu, Argus adalah pemimpin Schuraze yang paling adil pasca bencana. Satu-satunya kesalahan yang diperbuatnya adalah kepada keluarganya sendiri. Rakyat Schuraze adalah nomor satu baginya, di atas keluarganya sendiri.”

Aku diam. Pelan-pelan kerumunan kembali seperti sedia kala, pedagang kembali ribut menjajakan dagangannya, semuanya kembali normal seiring berlalunya Argus dari alun-alun. Memang, aku melihat semua kerumunan itu menghormatinya. Kekuasaannya mutlak, eksak, seperti ilmu pengetahuan. Tetapi ada cacat yang tidak tertangkap oleh mata-mata yang memujanya. Cacat yang rapuh, bahkan aku tak tega hanya menyentuhnya. Perempuan di depanku menunggu. Ada gejolak menyebalkan yang kurasakan saat ditatapnya seperti itu—meremehkan. Dan aku mulai curiga jangan-jangan perempuan itu memang antek Argus.

“Lotia!” Seseorang menyeru membelah kerumunan. Sosok Xaviere muncul secepat suara itu tiba di telingaku.

Perempuan di depanku berpaling, menyambut Xaviere dengan senyum lebar. “Hai, aku baru saja berbicara dengan saudara jauhmu.”

ISCHYRA [TERBIT]Where stories live. Discover now