E N A M B E L A S

914 155 31
                                    

___

"Aku seperti es batu yang keras kepala, dingin, menetap di sudut lemari es sementara dia adalah matahari yang membuatku melumer. Dia bahkan tidak berusaha memukulku untuk bisa menaklukkan keras kepalaku. Dia hanya membuatku mencair dengan cara yang lebih menenangkan, meski akhirnya aku justru menjadi air yang menghanyut untuk kemudian lebur dengan perairan, atau menguap ke langit."
___

Saba dipimpin oleh seorang lelaki berusia pertengahan empat puluh, dengan tubuh jangkung dan tegap dan berkepala plontos, namanya Matthias Guerero. Tidak ada kumis atau janggut, atau rambut apapun di wajahnya yang melambangkan kebijaksanaan. Tetapi sorot matanya yang tajam dan hidungnya yang bengkok menggambarkan kekuasaan telak yang mampu mengintimidasi lawan tanpa perlu bicara. Tetapi dia tidak sekejam itu. Meski senyumnya terlihat licik di mataku, ia memberi kami beberapa pakaian ganti dan kartu akses beberapa tempat, memberi kami kebebasan untuk menjelajahi distriknya setelah kami mengenalkan diri sebagai anak dan keponakan Argus Alokra.

“Argus sudah memberi kabar bahwa kalian akan berkunjung kemari,” katanya. Ia tidak menanyakan alasan mengapa kami ingin berkunjung. Barangkali berkunjung ke distrik lain pada masa ini memang sangat lazim dan tidak butuh alasan. Atau mungkin Matthias merasa aman melepaskan kami karena dia sudah mendapatkan jaminan. Paling tidak, dia tahu kepala siapa yang akan dipenggalnya jika kami melakukan pengkhianatan.

Setelah menerima semua kebaikan dan kemurahan hatinya, Xaviere dan aku memutuskan untuk pamit meninggalkan ruangan, dan berjanji akan mengembalikan semua properti yang dipinjamkannya setelah kami selesai mengeksplor Saba, meski dia menolaknya dan mengatakan bahwa kami bisa menyimpan semua itu sebagai cinderamata.

Saba penuh pesona dan misteri. Rasa penasaran mengikatku erat sejak pertama kali aku tiba, aku tidak tahu bagaimana dengan Xaviere, tetapi kurasa dia juga menikmati perjalanan kami. Jadi kami meminjam kompartemen kecil di kompleks pemukiman dari Matthias, menyimpan semua peralatan kami di sana, dan menghabiskan waktu semaksimal mungkin. Entah bagaimana pakaian yang dipinjamkan Matthias melekat pas di tubuh kami. Bahkan Xaviere tampak seperti penduduk lokal setelah mengenakan pakaian yang mengilat cukup mewah. Sangat mewah di mataku.

Mengejutkan, karena aku tidak pernah mendengar Saba sebelumnya. Atau mungkin tidak ada orang Saba yang menyukai pertunjukan teater dan hal-hal alamiah sederhana yang ada di Schuraze sehingga mereka tidak pernah berkunjung ke tempat kami.

Semua sudut kompleks di Saba terasa luar biasa elegan. Aku mendengar bisik-bisik di kompartemen, tetapi mereka tidak pernah bicara keras-keras. Tawar menawar terjadi di pasar-pasar dan pelelangan, tetapi hanya tentang harga. Orang-orang bertukar informasi seperlunya, tidak ada ekspresi atau luapan perasaan yang mestinya dimiliki manusia biasa.

“Apakah orang-orang ini tidak pernah menangis atau tertawa?” tanyaku suatu hari pada Xaviere. Kami terus mengunjungi rute-rute baru setiap harinya, Saba tidak begitu luas sehingga dua minggu adalah waktu yang lebih dari cukup bagi kami untuk mengunjungi semua tempat dan menemukan banyak hal-hal ganjil.

“Aku dengar ada beberapa perayaan setiap tahunnya untuk hal-hal seperti itu.”

“Apa mereka tidak akan menjadi gila dengan menyimpan semua emosinya?”

Xaviere angkat bahu. Tadinya kami berpikir untuk mencari tahu tentang Saba dari penduduk lokal. Mencari anak kecil atau orang-orang sebaya kami untuk dijadikan teman, tetapi sepertinya tidak ada yang mau berteman dengan kami.

Kelompok-kelompok terbentuk di area hiburan, ada toko-toko makanan, bar, kafe, dan restoran, hanya tempat-tempat seperti itu yang memiliki kehidupan. Orang-orang berbicara lebih lepas, terlihat jauh lebih manusia dibandingkan saat mereka berada di jalanan. Tetapi tetap saja baik Xaviere maupun aku tidak mendapat sedikitpun tempat di antara mereka.

ISCHYRA [TERBIT]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin